TERSENYUMLAH
Karya: Dewi Nurcahyani
Gadis berkemeja batik—atau yang
lebih terlihat seperti motif kotak-kotak— itu akhirnya duduk tegak, setelah
sekian lama menelungkupkan kepalanya di meja. Dia menatap kertas putih bergaris
dan tentunya pena bertinta hitam—yang tadi ia beli di toko dekat rumahnya—
dengan tatapan bingung. Diperhatikannya ruangan tempat ia berada itu, semua
orang yang juga berpakaian batik duduk sambil menggoreskan tintanya. Lancar. Menjatuhkan
imajinasinya ke dalam rangkaian huruf yang dipisahkan spasi. Sedangkan dirinya,
sedang sibuk merutuki keberadaannya diruangan itu. Bayangan-bayangan menonton
kartun kesukaannya di Sabtu pagi menyesap di otaknya. Bayangan itu mungkin
sedang menjadi realita sekarang, kalau saja lelaki bernama Gabriel yang notabene
teman sekelasnya itu, tidak seenak keningnya mendaftarkan ia di lomba menulis
cerita pendek yang di adakan sekolahnya.
Baiklah, sekarang menulis. Tentang kebudayaan
dunia kita. Apa yang terlintas? Menari? Bernyanyi? Makanan khas? Adat istiadat?
Bosan. Sudah sering, mainstream. Atau..
kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging pada dunia? Seperti budaya telat
atau terlalu konsumtif? Menarik untuk dibahas. Menyenangkan untuk membuat
narasi penuh kitik. Karena pada dasarnya bakat utama manusia adalah;
mencari-cari kesalahan. Tetapi tidak untuk hari ini. Sabtu pagi, sinar matahari—dua
hal yang ia sukai setelah menonton kartun— memintanya untuk absen dari bakat
utama manusia yang satu itu. Karena hari ini, gadis itu bertekad menceritakan
kebudayaan dunia yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Yang baru ia temukan
barusan.
Mari putar jarum jam dinding hijau
di sisi belakang ruangan itu. Analisis apa dan siapa yang ia lihat dan temui
sebelum sampai disini. Pagi hari, pertama kali yang dilihat adalah Ibunya
sedang memasak. Lalu pamit pada Ayahnya yang sedang membaca koran pagi. Ibu-ibu
toko fotocopy yang memberikannya
pena. Dan di jalan, penumpang Angkutan Umum yang turun di tepian. Remaja perempuan yang menurunkan adiknya—atau anaknya, mungkin— di depan Sekolah Dasar. Panitia lomba
menulis cerita pendek yang menunggu di depan ruangan. Teman—atau saingannya
menulis cerita pendek, sebut saja begitu— yang sebagian kecil di kenalnya. Oh ya,
dan terakhir, wajah pemimpin negara dan wakilnya dibingkai apik pada dinding di
hadapannya.
Menemukan budaya dalam cerita di
atas? Apa? Terdengar seperti keadaan sehari-hari, sangat normal. Gadis–yang
sudah sipit— itu menyipitkan matanya sambil memiringkan kepalanya,
menimbang-nimbang. Jadi, apa hanya dia yang menyadari satu budaya terselip
disana? Budaya yang sangat mendunia. Bisa ditemukan dimanapun, pada siapapun. Budaya
murni yang belum terjamah.
Lengkungan pelangi itu. Hal super
sederhana yang menceritakan emosional empunya. Menerangkan bagi yang
melihatnya. Menyalurkan energi kasat mata. Jika bisa dimakan, mungkin rasanya
manis. Membuat gadis ini semakin percaya bahwa Tuhan menciptakan seratus kebahagiaan,
tetapi disimpan-Nya sembilan puluh sembilan. Dilemparkan satunya ke Bumi. Diberi
nama, senyuman.
Seperti senyum Ibunya yang bergumam
menyuruh sarapan. Senyum Ayahnya di balik koran. Senyum Ibu-Ibu fotocopy yang bergumam ucapan
terimaksih. Senyum ikhlas penumpang Angkutan Umum sembari memberikan uang. Senyum
bangga remaja perempuan pada adiknya. Senyum menyambut kehadiran dari panitia
lomba menulis cerita pendek. Senyum menyemangati—atau meremehkan— para peserta
lomba lainnya. Dan jangan lupa, senyum penuh wibawa bapak Jokowi dan Yusuf
Kalla.
Ah, bahkan… yang terakhir, senyum
gadis itu. Gadis itu tersenyum. Bibirnya terangkat kedua sisi. Matanya berkilat
puas. Dia berusaha melestarikan budaya yang baru saja ia temukan. Budaya yang
menurutnya sangat penting. Dibutuhkan. Semua orang perlu tersenyum. Sedekah paling
sederhana. Gerakan simple pada bibir.
Penangkal keburukan. Kebiasaan abadi dunia. Murni.
Jadi ketika membaca ini….. Tersenyumlah.
Bantu gadis itu melestarikannya.