Senin, 12 Oktober 2015

Tersenyumlah

TERSENYUMLAH
Karya: Dewi Nurcahyani

Gadis berkemeja batik—atau yang lebih terlihat seperti motif kotak-kotak— itu akhirnya duduk tegak, setelah sekian lama menelungkupkan kepalanya di meja. Dia menatap kertas putih bergaris dan tentunya pena bertinta hitam—yang tadi ia beli di toko dekat rumahnya— dengan tatapan bingung. Diperhatikannya ruangan tempat ia berada itu, semua orang yang juga berpakaian batik duduk sambil menggoreskan tintanya. Lancar. Menjatuhkan imajinasinya ke dalam rangkaian huruf yang dipisahkan spasi. Sedangkan dirinya, sedang sibuk merutuki keberadaannya diruangan itu. Bayangan-bayangan menonton kartun kesukaannya di Sabtu pagi menyesap di otaknya. Bayangan itu mungkin sedang menjadi realita sekarang, kalau saja lelaki bernama Gabriel yang notabene teman sekelasnya itu, tidak seenak keningnya mendaftarkan ia di lomba menulis cerita pendek yang di adakan sekolahnya.
Baiklah, sekarang menulis. Tentang kebudayaan dunia kita. Apa yang terlintas? Menari? Bernyanyi? Makanan khas? Adat istiadat? Bosan. Sudah sering, mainstream. Atau.. kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging pada dunia? Seperti budaya telat atau terlalu konsumtif? Menarik untuk dibahas. Menyenangkan untuk membuat narasi penuh kitik. Karena pada dasarnya bakat utama manusia adalah; mencari-cari kesalahan. Tetapi tidak untuk hari ini. Sabtu pagi, sinar matahari—dua hal yang ia sukai setelah menonton kartun— memintanya untuk absen dari bakat utama manusia yang satu itu. Karena hari ini, gadis itu bertekad menceritakan kebudayaan dunia yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Yang baru ia temukan barusan.
Mari putar jarum jam dinding hijau di sisi belakang ruangan itu. Analisis apa dan siapa yang ia lihat dan temui sebelum sampai disini. Pagi hari, pertama kali yang dilihat adalah Ibunya sedang memasak. Lalu pamit pada Ayahnya yang sedang membaca koran pagi. Ibu-ibu toko fotocopy yang memberikannya pena. Dan di jalan, penumpang Angkutan Umum yang turun di tepian. Remaja perempuan yang menurunkan adiknya—atau anaknya, mungkin— di depan Sekolah Dasar. Panitia lomba menulis cerita pendek yang menunggu di depan ruangan. Teman—atau saingannya menulis cerita pendek, sebut saja begitu— yang sebagian kecil di kenalnya. Oh ya, dan terakhir, wajah pemimpin negara dan wakilnya dibingkai apik pada dinding di hadapannya.
Menemukan budaya dalam cerita di atas? Apa? Terdengar seperti keadaan sehari-hari, sangat normal. Gadis–yang sudah sipit— itu menyipitkan matanya sambil memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang. Jadi, apa hanya dia yang menyadari satu budaya terselip disana? Budaya yang sangat mendunia. Bisa ditemukan dimanapun, pada siapapun. Budaya murni yang belum terjamah.
Lengkungan pelangi itu. Hal super sederhana yang menceritakan emosional empunya. Menerangkan bagi yang melihatnya. Menyalurkan energi kasat mata. Jika bisa dimakan, mungkin rasanya manis. Membuat gadis ini semakin percaya bahwa Tuhan menciptakan seratus kebahagiaan, tetapi disimpan-Nya sembilan puluh sembilan. Dilemparkan satunya ke Bumi. Diberi nama, senyuman.
Seperti senyum Ibunya yang bergumam menyuruh sarapan. Senyum Ayahnya di balik koran. Senyum Ibu-Ibu fotocopy yang bergumam ucapan terimaksih. Senyum ikhlas penumpang Angkutan Umum sembari memberikan uang. Senyum bangga remaja perempuan pada adiknya. Senyum menyambut kehadiran dari panitia lomba menulis cerita pendek. Senyum menyemangati—atau meremehkan— para peserta lomba lainnya. Dan jangan lupa, senyum penuh wibawa bapak Jokowi dan Yusuf Kalla.
Ah, bahkan… yang terakhir, senyum gadis itu. Gadis itu tersenyum. Bibirnya terangkat kedua sisi. Matanya berkilat puas. Dia berusaha melestarikan budaya yang baru saja ia temukan. Budaya yang menurutnya sangat penting. Dibutuhkan. Semua orang perlu tersenyum. Sedekah paling sederhana. Gerakan simple pada bibir. Penangkal keburukan. Kebiasaan abadi dunia. Murni.

Jadi ketika membaca ini….. Tersenyumlah.

Bantu gadis itu melestarikannya.