Rabu, 30 Desember 2015

2015 told me...

[365/365]

Saya pikir 2015 akan penuh dengan masalah. And yes, exactly. But behind the problems…
2015 told me a lot of things,
Mulai dari jatuh karena kehilangan pondasi,
Kemudian mengambil keputusan untuk bangkit lagi,
Untuk tidak bergantung pada apapun selain diri sendiri,
Berteman baik dengan yang dulu sejauh matahari,
Membenci manusia yang dulu sedekat nadi,
Bertemu dengan banyak sekali orang munafik—
Tetapi seribu lebih banyak orang baik,
Lalu yang tersulit; memaafkan tanpa diminta,
Belajar menerima keadaan,
Meredupkan penyesalan,
Membuat pondasi baru sendiri,
Karena sudah pernah jatuh—dan tak akan lagi,
Dan yang terakhir, yaitu,
Arti keluarga.
Mungkin memang bukan keping hidup yang selalu indah, bahkan kadang hancur dan tak lengkap. Tetapi percayalah, inilah kepingan terbesar semua insan, keluarga berarti kebahagiaan.
Mungkin hanya karena tinggal diatas atap rumah yang sama. Padahal, sebenarnya sebuah tempat pulang.
Mungkin bukan yang mengucapkan “cepat sembuh”, tetapi yang menyuapi bubur disamping ranjang.
Mungkin bukan yang menyatakkan perhatian, padahal yang paling peduli.
Mungkin bukan yang memberikan ucapan dan hadiah ulang tahun, tetapi yang selalu menyebut namamu dalam doanya.
Mungkin mereka bukan yang terbaik, tetapi selalu mengingikan hal baik terjadi padamu.

Jadi, berhentilah sebentar.
Menjauhlah,
Jangan terlalu dekat—
Sampai tak bisa dibaca, seperti kalimat tanpa spasi.
Sampai tak bisa di dengar, seperti bunyi tanpa jeda.
Sampai tak bisa berfungsi, seperti ventilasi tanpa sela.
Karena jarak memperbaiki keadaan dengan;
Menciptakan ruang,
Menghadirkan rindu,
Menciutkan ego,
Memberi kesempatan pada kejujuran,
Menyadarkan tentang keberadaan yang berharga.
Perhatikan sekitarmu. Apa yang selama ini di anggap biasa saja, ternyata sangat berharga.




Selamat tahun baru 2016.

Senin, 12 Oktober 2015

Tersenyumlah

TERSENYUMLAH
Karya: Dewi Nurcahyani

Gadis berkemeja batik—atau yang lebih terlihat seperti motif kotak-kotak— itu akhirnya duduk tegak, setelah sekian lama menelungkupkan kepalanya di meja. Dia menatap kertas putih bergaris dan tentunya pena bertinta hitam—yang tadi ia beli di toko dekat rumahnya— dengan tatapan bingung. Diperhatikannya ruangan tempat ia berada itu, semua orang yang juga berpakaian batik duduk sambil menggoreskan tintanya. Lancar. Menjatuhkan imajinasinya ke dalam rangkaian huruf yang dipisahkan spasi. Sedangkan dirinya, sedang sibuk merutuki keberadaannya diruangan itu. Bayangan-bayangan menonton kartun kesukaannya di Sabtu pagi menyesap di otaknya. Bayangan itu mungkin sedang menjadi realita sekarang, kalau saja lelaki bernama Gabriel yang notabene teman sekelasnya itu, tidak seenak keningnya mendaftarkan ia di lomba menulis cerita pendek yang di adakan sekolahnya.
Baiklah, sekarang menulis. Tentang kebudayaan dunia kita. Apa yang terlintas? Menari? Bernyanyi? Makanan khas? Adat istiadat? Bosan. Sudah sering, mainstream. Atau.. kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging pada dunia? Seperti budaya telat atau terlalu konsumtif? Menarik untuk dibahas. Menyenangkan untuk membuat narasi penuh kitik. Karena pada dasarnya bakat utama manusia adalah; mencari-cari kesalahan. Tetapi tidak untuk hari ini. Sabtu pagi, sinar matahari—dua hal yang ia sukai setelah menonton kartun— memintanya untuk absen dari bakat utama manusia yang satu itu. Karena hari ini, gadis itu bertekad menceritakan kebudayaan dunia yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Yang baru ia temukan barusan.
Mari putar jarum jam dinding hijau di sisi belakang ruangan itu. Analisis apa dan siapa yang ia lihat dan temui sebelum sampai disini. Pagi hari, pertama kali yang dilihat adalah Ibunya sedang memasak. Lalu pamit pada Ayahnya yang sedang membaca koran pagi. Ibu-ibu toko fotocopy yang memberikannya pena. Dan di jalan, penumpang Angkutan Umum yang turun di tepian. Remaja perempuan yang menurunkan adiknya—atau anaknya, mungkin— di depan Sekolah Dasar. Panitia lomba menulis cerita pendek yang menunggu di depan ruangan. Teman—atau saingannya menulis cerita pendek, sebut saja begitu— yang sebagian kecil di kenalnya. Oh ya, dan terakhir, wajah pemimpin negara dan wakilnya dibingkai apik pada dinding di hadapannya.
Menemukan budaya dalam cerita di atas? Apa? Terdengar seperti keadaan sehari-hari, sangat normal. Gadis–yang sudah sipit— itu menyipitkan matanya sambil memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang. Jadi, apa hanya dia yang menyadari satu budaya terselip disana? Budaya yang sangat mendunia. Bisa ditemukan dimanapun, pada siapapun. Budaya murni yang belum terjamah.
Lengkungan pelangi itu. Hal super sederhana yang menceritakan emosional empunya. Menerangkan bagi yang melihatnya. Menyalurkan energi kasat mata. Jika bisa dimakan, mungkin rasanya manis. Membuat gadis ini semakin percaya bahwa Tuhan menciptakan seratus kebahagiaan, tetapi disimpan-Nya sembilan puluh sembilan. Dilemparkan satunya ke Bumi. Diberi nama, senyuman.
Seperti senyum Ibunya yang bergumam menyuruh sarapan. Senyum Ayahnya di balik koran. Senyum Ibu-Ibu fotocopy yang bergumam ucapan terimaksih. Senyum ikhlas penumpang Angkutan Umum sembari memberikan uang. Senyum bangga remaja perempuan pada adiknya. Senyum menyambut kehadiran dari panitia lomba menulis cerita pendek. Senyum menyemangati—atau meremehkan— para peserta lomba lainnya. Dan jangan lupa, senyum penuh wibawa bapak Jokowi dan Yusuf Kalla.
Ah, bahkan… yang terakhir, senyum gadis itu. Gadis itu tersenyum. Bibirnya terangkat kedua sisi. Matanya berkilat puas. Dia berusaha melestarikan budaya yang baru saja ia temukan. Budaya yang menurutnya sangat penting. Dibutuhkan. Semua orang perlu tersenyum. Sedekah paling sederhana. Gerakan simple pada bibir. Penangkal keburukan. Kebiasaan abadi dunia. Murni.

Jadi ketika membaca ini….. Tersenyumlah.

Bantu gadis itu melestarikannya.

Selasa, 15 September 2015

Cinta Pertama

Cinta Pertama
Karya: Dewi Nurcahyani

Dia cinta pertamaku
Bukan karena darahnya mengalir dalam tubuhku
Bukan juga karena surgaku di telapak kakinya
Tetapi karena, di sela jari tangannya kucium ridho Allah

Karenanya, aku juga percaya cinta pada pandangan pertama
Pertama kali bicara padaku, disetiap  jeda katanya aku mendengar kesabaran
Pertama kali menyentuhku, kurasakan kulitnya selembut kasih
Pertama kali menatapku, kulihat matanya yang mengkilat bagai butiran tasbih

Serta dialah yang memberitahu ku; ‘cinta sejati bukanlah mitos’
Lewat bibir yang diwarnai oleh merahnya kejujuran
Lewat tangan yang penuh gelang sedekah
Lewat wajah yang cerah akan istighfar

Lalu aku bertanya-tanya sendiri
Mengapa ia tidak mempunyai sayap?
Ya Allah, salahkah aku?
Ia hampir terlihat seperti malaikat, tetapi aku malah memanggilnya “Ibu”?

Sabtu, 22 Agustus 2015

This is my life, my choice

Kalau hidup adalah sebuah perjalan. Maka saya tipikal yang selalu berjalan lurus, walau banyak persimpangan. Saya tetap memilih untuk lurus entah apapun yang terjadi. Karena saya tidak berani mengambil resiko disetiap belokannya, apalagi untuk tersesat.
Lalu suatu saat di salah satu persimpangan, saya bertemu dengannya. Kami –saya dan dia— meneruskan perjalanan bersama. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa perjalanan ini terasa lebih menyenangkan, kami saling bercerita dan mulai mengenal satu sama lain selama perjalanan. Sampai suatu hari, dia meminta saya untuk belok ke arah lain di persimpangan yang kami lewati, saya tegas menolak, saya bahkan mempersilahkan dia belok sendiri dan membiarkan saya tetap berjalan lurus. Tetapi dia menggeleng, dia lebih memilih bersama saya selama perjalanan dibandingkan belok ke arah lain. Saya tidak bisa untuk tidak tersenyum padanya. Saya membayangkan untuk berjalan melewati semua perjalanan hidup saya bersama dia.
Sampai pada suatu waktu selanjutnya di persimpangan dia meminta saya lagi untuk berbelok, saya jelas menolak, dan saya lihat garis kecewa itu di wajahnya. Saya juga enggan membiarkan dia belok sendiri, bagaimana saya melanjutkan perjalanan saya tanpa dia? Maka dia lah satu-satunya alasan mengapa saya belok di persimpangan kali ini. Walaupun jalan di belokan ini terasa penuh kerikil, dan saya mulai merasa tidak nyaman. Tetapi menurut saya ini akan baik-baik saja, selama saya bersama dia. Karena belokan pertama kami itu, kami jadi lebih sering belok di persimpangan berikutnya. Jalan yang saya lewati semakin buruk penuh bebatuan, ini semakin sulit untuk saya berjalan. Terus seperti itu, sampai saya tidak tahu lagi kami sedang dimana, tetapi jalannya (sangat) buruk.
Lalu saya mulai berpikir dimana jalan lurus nyaman yang dulu selalu saya lewati?
Kenapa saya sama sekali tidak melihat satupun jalan dengan kondisi baik disetiap persimpangan?
Saya bilang kami tersesat, tapi dia meyakinkan saya untuk percaya, dia berjanji akan membawa saya ke jalan yang kembali baik seperti sebelumnya.
Lalu saya bisa apa selain mempercayai kata-katanya? Apa saya punya pilihan lain?
Apa saya bisa balik ke arah sebelumnya lalu melanjutkan semua ini tanpanya?
Jadi, saya melanjutkan ketersesatannya kami. Entah dia mau bawa saya kemana. Sampai akhirnya saya muak dengan ketersesatan kami, dia membawa saya ke jalan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Sampai saya rasa saya tidak sanggup lagi untuk melewatinya. Dan pada waktu itu lah saya mengambil keputusan untuk berhenti, saya membebaskan dia untuk berbelok lagi entah kemana, tapi tanpa saya. Lalu pada saat itu dia marah kepada saya, merasa saya mengecewakan dia, karena dia pikir kami akan menghabiskan seluruh perjalanan ini bersama. Dia pergi meninggalkan saya tanpa menoleh sedikit pun.
Entah apa yang saya pikirkan waktu itu:
‘Bagaimana kalau dia menemukkan seseorang baru untuk menemaninya nanti?’
‘Bisakah saya memperbaiki semua ini tanpa dia?’
‘Apakah dia akan kembali kesini untuk saya?’
Sampai saya menunduk dan meliat jalan rusak dibawah kaki saya. Tidak, ini bukan jalan yang harusnya saya lalui. Saya tidak perlu memikirkan dia, sebelum bertemu dia saya bisa menjalani hidup saya (bahkan lebih baik), sebelum lalu dia merusak jalannya. Saya tidak butuh bantuannya, saya yang meminta dia meninggalkan saya, dan akan sangat baik ketika orang yang membuat saya tersesat itu akhirnya pergi.
Seharusnya, saya tidak perlu mengubah pilihan hidup saya untuk orang lain. Kebahagiaan saya tidak bergantung pada dia, tapi pada diri saya sendiri, karena ini adalah jalan hidup saya, pilihan saya. Mungkin ini sudah terlalu jauh untuk berbalik arah, berjalan lurus dan mencari jalan yang lebih baik… Tetapi saya mempercayai diri saya dibandingkan siapapun, apa yang orang-orang di pinggir jalan ucapkan tentang saya itu, sama sekali bukan urusan saya. Karena apa yang mereka ucapkan itu adalah urusan mereka, tenaga mereka, pikiran mereka, mulut mereka. Dan begitulah juga saya, apa pun yang saya lakukan itu adalah urusan saya, tenaga saya, pikiran saya, langkah kaki saya. 

Tertanda, 

Yang berbalik arah

Selasa, 14 Juli 2015

I think, so..

"Mereka menyukaimu karena tampangmu, aku menyukaimu karena pemikiranmu. Wajah bisa menua tapi otak akan mematang.
Mereka marah jika chat nya tak berbalas, aku malah bersyukur kau bukan orang yang kecanduan bermain gadget. Berbicara sambil bertatapan selalu lebih baik.
Mereka ingin merantaimu, aku ingin terbang bersamamu. Karna rasa hanya mengikat tanpa pernah mengekang.
Mereka membencimu karena kau berbeda, aku akan membencimu jika kau berusaha menyeragamkan dirimu. Kau unik seperti ini, tak perlu berubah untuk disenangi.
Mereka berusaha mengejarmu mati matian, aku berusaha berjalan disebelahmu. Bagaimana bisa berpegangan tangan kalau tak bersampingan?
Mereka kesal karna kau terlalu sibuk, aku senang kau berusaha mengejar mimpimu. Karena mimpi adalah segalanya, melebihi rasa dua anak manusia.
Mereka berdoa agar bisa bersamamu, aku berdoa agar kau selalu bahagia. Dan doaku selanjutnya; 'semoga aku ada dalam skema kebahagiaanmu'."

Sabtu, 27 Juni 2015

My Sun

Dewi Chani presents
An Alternate Universe request fiction
“FOUR SEASONS—Summer: My Sun”
Length: 1 of 4 season
Summary: Cinta yang benar dalam keadaan yang salah. Lelaki berjambul dengan senyum hangat dan gadis bernama Lily Aron bersama es krim vanillanya. Tahukah mereka bahwa Tuhan sedang menuliskan akhir kisah mereka?

Happy reading!

Mentari itu masih terlukis rapih di kanvas langit.
Terik tajamnya menembus celah-celah awan.
Angin terbang bersama harum khas musim panas.
Dan sebuah es krim vanilla mulai mencair.
Pemiliknya tak menyadari itu.
“Ly, es krimmu!” Lelaki berjambul berteriak pada gadis disebelahnya.
Gadis itu baru tersadar dari melamun dan membulatkan kedua matanya sempurna melihat es krim vanillanya yang mencair lalu mulai menetes ke tangan. Dia berdecak sebal dan jelas itu mengundang tawa renyah lelaki berjambul tadi. “Siapa yang menyuruhmu melamun, Ly?”
Gadis itu mendelik, “Siapa yang ingin makan es krim di tempat panas seperti ini, Jein?”
“Well, jadi kau menyalahkan mataharinya, Ly?”
“Well, apa menurutmu aku bisa menyalahkan benda mati, Jein?”
“Baiklah-baiklah. Bersihkan tanganmu dulu, dasar anak kecil,” Jein –lelaki berjambul itu— menyodorkan sebuah sapu tangan putih polos pada gadis itu.
Lily sibuk membersihkan tangannya sampai ia melihat rajutan huruf L dan A warna merah di sisi kanan bawah sapu tangan itu. “Ini sapu tanganku yang kau pinjam bertahun-tahun itu, kan?”
Jein tersenyum semanis mungkin dengan matanya yang disipitkan, “Aku hanya belum sempat mengembalikkannya, Ly. Kau tahu kan, aku sangat sibuk?”
Lily memutar bola matanya tak perduli, lalu melemparkan sapu tangan putih itu pada Jein. “Cuci dulu, baru kembalikkan padaku.”
“Siapa juga yang membuatnya kotor,” desis Jein setelah menerimanya.
“Apa?”
“Ah? Tidak apa-apa. Aku hanya melihat ada kucing yang menjulurkan lidahnya padaku.”
“Lucu sekali,” sinis Lily.
“Terimakasih.”
***
Jein merendahkan tubuhnya, “Baiklah tuan putri, sudah sampai di istana.”
“Baiklah prajurit, terimakasih tumpangan punggungnya.”
“Tapi lain kali mungkin kau bisa diet dulu.”
“Jein! Aku tidak seberat itu!”
“Aku yang menggedongmu, jadi aku yang tahu seberapa berat tubuhmu.”
“Tapi, aku rasa—“
“Sudah kubilang kan, jangan menggunakkan perasaan. Tapi lihat saja faktanya, nona.”
“Itu bukan fakta. Tapi hanya opinimu, tuan.”
“Dan aku ini orangnya objektif. Jadi menyatakkan opini berdasarkan fakta.”
“Oke, aku akan diet. Puas?”
“Aku hanya bercanda, Lily Aron…”
***
Zayn Malik, atau Jein –begitu caranya memanggil lelaki itu— adalah sahabat baik Lily. Lelaki dengan rambut berjambul, mata hazel, dan jangan lupakan senyuman sihirnya itu. Senyuman sihir? Benar. Senyuman lembut yang selalu berhasil menghipnotis Lily.
Tubuhnya mendadak lemas setiap senyuman sihir itu memasuki saluran penglihatannya.
Seperti matahari yang melelehkan es krim vanilla-nya.
Jein memang benar-benar seperti matahari, bagi Lily Aron. Menghangatkan dan selalu memancarkan sinar.
***
“Jein?”
“Hm?”
“Kau tahu?”
“Tidak.”
“Aku serius.”
“Baiklah, katakan.”
“Kau terlihat seperti matahari bagiku.”
“Benarkah?”
“Dan reaksimu cuma seperti ini?”
“Memangnya aku harus menjawab seperti apa?”
“Jein, aku baru saja mengakui sesuatu yang…. bodoh. Lupakan saja.”
“Gaya bicaramu seperti gadis yang sedang menyatakkan perasaanya kepada senior yang di sukai, Ly.”
“Lalu?”
“Kita sahabat, bodoh.”
“Kau benar.”
***
Lily tidak bisa tidur semalam karena memikirkan untuk mengatakkannya atau tidak.
Lily berbicara sendiri di depan cermin seperti orang gila hanya untuk merangkai kata-kata yang tepat.
Bahkan Lily membuat dialog buatan –antara dia dan Jein— dengan berbagai hal yang paling berkemungkinan besar akan dibicarakan.
Lalu ketika Lily mengatakkan apa arti lelaki itu baginya, yang ia dapatkan hanya sebuah ‘benarkah?’.
Ya, benar. Ini memang benar-benar bodoh.
Dan apa yang lelaki itu bilang? Gaya bicaranya seperti gadis yang sedang menyatakkan perasaanya kepada senior yang di sukai? Oh Tuhan, yang benar saja? Jelas-jelas mereka sahabat.
Ya, sahabat.
Lalu setiap mendengar itu…
Kenapa jatungnya mencelos?
Kenapa nafasnya tercekat?
Kenapa seperti ada lubang menganga di hatinya?
Kenapa air mata mendesak keluar dari matanya?
Lily tidak bisa menyangkal lagi kepada hatinya sendiri kalau dia mulai berharap semuanya lebih dari sekedar sahabat. Tapi dia tidak akan mengakui itu kepada siapapun, karena jika diakui, dia tahu ini akan semakin terasa nyata.
***
Zayn menempelkan ponsel ditelinganya. Lalu tersenyum mendengar suara dari sebrang sana.
 “Hallo,”
“Ly?”
“Jein?”
“Apa aku mengganggumu?”
“Tidak. Ada apa?” 
“Besok aku tidak bisa berangkat ke sekolah bersamamu.”
“Kenapa?”
“Aku tidak masuk.”
“Kau sakit? Berikan surat doktermu padaku biar—“
Jein memotong ucapan Lily yang tidak memberikkannya kesempatan untuk menjawab, “Aku tidak sakit.”
“Lalu?”
“Pergi.”
“Kemana?
‘Oh Tuhan, kenapa gadis ini seperti wartawan?’ Jein menggurutu dalam hati.
“Ada urusan keluarga.”
“Oh baiklah, aku akan menyampaikannya pada Mrs. Lauren.”
“Jangan—”
“Ha?”
“Maksudku, tidak perlu. Orang tuaku sudah menghubunginya.”
“Oke. Kapan kau kembali?”
 “Aku tidak tahu,”
‘Atau mungkin tidak akan kembali lagi.’ Desisnya lagi dalam hati.
 “Kenapa begitu?”
“Tapi mungkin aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama.”
“Menyebalkan sekali.”
“Mungkin kau harus membiasakan diri untuk jalan sendiri ke halte bus mulai sekarang.”
“Jein,”
“Ya?”
Dan gadis itu tidak menjawab apapun.
“Hei, kau masih disana?”
“Eh? Ah maaf, aku melamun.”
“Apa yang kau pikirkan, Ly?”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Apa? Aku? Ten—tu saja. Kenapa?”
“Tidak, hanya memastikan.”
“Kurasa kau mulai mengantuk. Aku akan menutup teleponnya.”
“Tunggu. Jangan ditutup dulu.”
“Apa lagi—“
“Aku mencintaimu.”
Zayn tidak bisa bernafas dengan baik. Dia benar-benar butuh oksigen lebih banyak di sekitarnya. Mata hazelnya ditutup. Kalimat yang sangat tidak ingin di dengar telinganya, akhirnya terucap.
Ya, tidak ingin di dengar. Bodoh sekali.
Seekor semut di lantai dekat kakinya pun tahu Zayn Malik tidak bisa untuk tidak berharap tentang perasaan Lily Aron padanya, walaupun harapan itu sangat kecil— tapi setidaknya ia masih punya harapan.
“Tidurlah.”
“Aku mencintaimu, Jein.”
‘Aku juga, Ly. Aku juga.’
Tapi tenggorokkannya tertahan, logikanya mencoba mengalahkan perasaan menggebu –gebu itu dihatinya. Tidak. Tidak bisa. Semua bagian tubuhnya pun tahu bahwa dia tidak bisa memiliki perasaan ini. Cukup di dalam hati, jangan sampai terucap.
“Selamat malam. Aku tutup teleponnya.”
***
Lily sadar kalau Jein beberapa waktu belakangan ini berubah semenjak dia mengatakkan kalau lelaki itu seperti matahari. Pasti dia sudah merasakan perasaan Lily padanya lalu merasa tidak nyaman. Mungkin karena Jein tidak memliki perasaan yang sama padanya? Ah benar, lelaki itu sering bilang kalu mereka sahabat. Bodoh.
Lily tahu kalau dia –sangat— gegabah sampai mengatakkan kalimat bedebah itu. Lily Aron telah mengatakkan kalau gadis itu mencintai Zayn Malik yang notabene adalah sahabatnya sendiri.
Tapi dia tidak bisa menahan perasaan lega yang membuncah ini. Rasanya seperti membunuh nyamuk yang sedari tadi mengigiti kulitnya. Baiklah, setidaknya biarkan beban di hati dan pikirannya terasa lebih ringan sekarang.
Jadi mencintai Jein adalah beban?
Sama sekali tidak. Tapi posisinya yang membuatnya merasa terbebani.
Kenapa cinta itu hadir diantara persahabatannya?
Atau malah, kenapa persahabatan itu merusak cintanya?
Lily tidak tahu mana pertanyaan yang tepat.
***
Alat optik itu terbuka dan memperlihatkan kornea hazel yang sontak menyipit karena belum siap menerima bias cahaya mentari. Empunya mengerang menerima sakit di kepalanya. Dia baru akan berpikir tentang ruangan asing ini ketika indra penciumannya mendeteksi bau obat.
Tempat ini lagi.
Sampai kapan dia harus terjaga dari tidur dan mendapati tubuhnya terbaring di ruangan yang selalu tampak asing dengan cat putih di seluruh penjurunya?
Jein baru akan memejamkan matanya lagi ketika ada suara kusen berdecit lalu wanita separuh baya muncul dari balik pintu itu.
“Selamat pagi.”
Wanita dengan wajah khas negara barat yang tetap terlihat cantik walaupun memiliki semburat keriput tipis itu terus menampilkan senyum lembutnya.
“Mau makan bubur?” katanya sambil menaruh plastik bawaannya di atas meja.
“Apa aku pingsan lagi, Bu?”
Jein memang selalu menjawab pertanyaan orang dengan pertanyaan lainnya. Kebiasaan buruk.
Wanita yang di panggil ‘ibu’ itu menghampiri ranjang anaknya lalu duduk di tepi kasur yang kosong, “Ayah menemukkanmu jatuh sambil menggengam ponsel.”
Menggengam ponsel? Apa dia menghubungi seseorang semalam? Oh benar, bahkan teman bicaranya itu menyatakkan cinta.
Zayn menghela nafas berat mengingat suara gadis itu, bahkan setiap katanya.
“Apa dia sudah tahu—“
“Kita sudah pernah membahas itu sebelumnya, Bu.”
“Apa alasannya? Karena ini bukan waktu yang tepat?” Zayn tidak begerming sedikit pun, “Waktu tidak pernah tepat, kalau manusia selalu saja belum siap.”
“Aku memang benar-benar belum siap, Bu.”
“Kurasa kau bisa membedakan antara belum dan tidak. Belum itu berarti akan, kan?”
“Tentu saja, nanti.”
“Sebenarnya aku benar-benar tidak ingin mengatakkan ini –apalagi pada anakku sendiri. Tapi kenapa kau seenaknya selalu mengatakkan ‘nanti’? Kau merasa dirimu dalam keadaan baik-baik saja dan punya banyak waktu, Zayn?”
Kulitnya seperti tertancap runcing kayu lalu mengeluarkan darah. Ibunya baru saja menamparnya kembali pada kenyataan.
“Ibu tahu ini bukan urusan ibu. Tapi setidaknya jangan membuat dirimu lebih menderita  dari sebelumnya. Lagipula, kurasa dia juga punya hak untuk tahu.”
***
Lily Aron menatap pintu yang bertuliskan “teachers room”dihadapannya. Lalu gadis berambut hitam itu mendorong pintunya pelan, dan mendongakkan sedikit kepalanya kedalam ruangan. Dia tersenyum saat mendapati sesosok wanita separuh baya melambaikan tangan padanya disana. Ia mendorong pintunya sedikit lagi agar cukup untuknya masuk, lalu berjalan mengahampiri wanita itu.
“Ini tugasku, Mrs.”
Wanita dengan lipstick merah darah itu tersenyum simpul, “Untuk pertama kali, murid yang paling teladan dikelasku telat mengumpulkan tugasnya.”
Lily menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum kikuk. “Ah ya, maaf kan aku, Mrs. Banyak hal yang harus kulakukan minggu ini.”
“Hal seperti merindukkan Zayn Malik?”
“Mrs. Lauren—“
Wali kelasnya itu –Mrs. Lauren— mengadah-ngadahkan telapak tangannya sambil tertawa kecil. “Tidak-tidak, kau tidak perlu menjawabnya. Kau tahu kan, aku hanya suka menggodamu.”
“Em,“ Lily memiringkan kepalanya seperti menimbang-nimbang, “Tapi kau benar.”
“Ah baiklah Ly, aku tahu itu sangat menyiksa saat kau merindukkan seseorang,” Mrs. Laurent memegang pundak Lily dengan mimik prihatinnya. “Kuharap dia cepat sembuh.”
Gadis bermarga Aron itu menyernyitkan dahinya bingung.”Sembuh?”
“Kau tidak tahu?”
“Jadi ada sesuatu yang tidak kuketahui, Mrs?”
“Ly…” Mrs. Laurent melepaskan tangannya dari pundak Lily, “Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan ini, tapi mungkin ini bukan kapasitasku untuk bicara.”
“Katakan padaku, Mrs, kumohon. Aku mencintainya.” Entah apa yang gadis itu pikirkan, tapi semua kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tidak peduli lagi dengan; bodoh-harga diri-sahabat.
Mrs. Laurent menghela nafas panjang seperti meyakinkan dirinya untuk berbicara. “Zayn Malik menderita penyakit hepatitis. Sekarang dia sedang menjalani perawatan intensif.”
Bagi Lily Aron Bumi seperti berhenti berputar.
***
Lily Aron turun dari taksi dengan terburu-buru. Dia berlari ke arah sebuah gedung di sebrang jalan. Hatinya berkecamuk, pikirannya tak bisa fokus sama sekali, satu-satunya hal yang dia ingat adalah Zayn Malik.
Dia menemukannya. Sebuah kamar dengan wanita paruh baya yang sangat tidak asing sedang duduk didepannya, Ibu Jein. Gadis itu benar-benar takut untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia tidak bisa untuk menerima kenyataan apapun. Mungkin dia tidak bisa, tapi dia tahu kalau dia harus. Dengan sisa rasa berani yang masih ada dalam dirinya, kaki lemas itu mulai melangkah.
“Mrs. Malik?”
Wanita berambut pendek itu  mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, menampilkan wajahnya yang penuh air mata. Ibu Jein menangis.
Lily Aron tahu dia semakin dekat dengan kenyataan itu.
Ibu Jein menatapnya dengan pandangan tak percaya. “Ly?”
“Mrs. Lauren mengatakkannya padaku.”
“Aku benar-benar minta maaf…”
“Aku mengerti, Mrs.”
Wanita yang menyandang status sebagai ibu Zayn Malik itu memeluk Lily, menangis di pundak gadis itu. Seperti mencurahkan semuanya hal yang telah terjadi, menceritakkan semua kesedihan yang selama ini ia rasakan.
Ibu Jein melepaskan pelukannya, “Anak nakal itu selalu memarahiku kalau tahu aku menangisinya.”
Lily baru ingin menanggapi kalimat Ibu Jein ketika pria berjas putih keluar dari ruangan –yang Lily tahu ada Jein di dalamnya.
“Daniel?” Ibu Jein menghapus air matanya lalu menghampiri dokter —yang dipanggilnya Daniel itu— dengan tersenyum penuh harap.
“Maafkan aku, Mrs.” Daniel menundukkan kepalanya seperti menyesal.
Lily tahu kali ini ia sudah sangat dekat dengan kenyataan itu.
Senyum penuh harap milik Ibu Jein seketika luntur begitu saja, wanita itu sontak berlari memasuki ruangan di balik tubuh Daniel. Sedetik kemudian Lily bisa mendengar jeritan tangis Mrs. Malik dari luar.
Kali ini kenyataan itu memang sudah ada dihadapannya.
Tangan bergetar gadis itu memutar gagang pintu besi yang kali ini terasa seribu kali lebih dingin dari biasanya. Suara decitan kusen, menandakan pintu itu terbuka. Menampilkan jelas isi ruangan itu.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, melihat lelaki itu tergeletak lemas tak berdaya. Ia bisa melihat jelas wajah pucat yang kini semakin tirus, kornea hazel indah dibalik kelopak mata yang menutup, dada dan perut yang tenang karena empunya sudah tidak bernapas.
Lily tidak percaya pada matanya yang terasa panas, pada tubuhnya yang gemetar hebat, pada pandangannya yang mulai buram, pada rahangnya yang merapat, dan bahkan pada cairan tak berwarna yang lolos dari pelupuk matanya.
Dia tidak seharusnya menangis, tak ada perlu di tangisi, Zayn Malik baik-baik saja. Lelaki menyebalkan itu tak akan pernah meninggalkan nya sendiri begitu saja. Lelaki itu pasti akan menghapus air matanya dan memeluknya.
Tapi kenapa dia tidak bisa berhenti menangis…
Kenapa lelaki itu tidak memeluknya..
***
Hal yang paling buruk dari di tinggalkan adalah merasa kehilangan. Tahap dimana harus menerima kenyataan bahwa sosok itu sudah tidak ada lagi.
Bahkan Lily berharap, kalau lebih baik Zayn Malik sengaja menjauh karena mengetahui perasaan gadis itu padanya. Karena dengan begitu, setidaknya… Ia masih bisa melihatnya, mendengarnya, merasakan kehadirannya di sekelilingnya. Memastikan apa lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja. Daripada ia tidak dapat melihatnya lagi, walau hanya bayangannya. Tidak dapat mendengarnya, walau hanya suara langkah kakinya. Tidak dapat merasakan kehadirannya, walau hanya harum parfumnya.
Karena lelaki itu memang tidak akan kembali lagi. Walau hanya untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal.
“Ly…”
“Berhentilah menyiksa dirimu sendiri, aku yakin Jein akan marah jika melihatmu seperti ini.”
 “Bacalah. Jein menulisnya sebelum pergi.”
***
Dear Lily, bunga musim panasku…
Aku tak tahu apa tujuanku menulis ini. Mungkin ini terlihat seperti drama-drama, tapi— mungkin aku tidak bisa mengungkapkan kalimat-kalimat sepuitis ini secara langsung padamu. Bukan tidak mau Ly, aku tidak bisa. Kau tahu, bukan sekarang? Penyakit hepatitis ini membuatku terlihat sangat lemah. Bodoh. Pengecut. Bahkan untuk sekedar mengungkapkan perasaanku pada gadis yang kusukai saja tidak bisa. 
Ly, aku sakit. Disini, di dadaku rasanya sakit sekali. Aku lelah seperti ini. Tapi aku menahannya. Karena aku punya hal yang dapat membuatku bertahan. Bukan obat-obatan, tapi kau.
Aku sangat merasa tidak adil saat aku hidup ditemani penyakit yang menggerogoti tubuhku. Tapi aku sangat berterimakasih pada Tuhan karena mempertemukan kita. 
Aku menyayangimu, Ly. Aku mencintaimu, Lily Aron. 
Aku suka ketika kita bertukar pikiran, mengomentari berita-berita televisi, atau bercerita sedikit tentang masa kecil masing-masing, dan sekedar mengisi memoriku yang hampa. Terimakasih, terimakasih. Karena telah memberikkan secuil kenangan yang dapat kubanggakan.
Carilah lelaki yang dapat memberikkanmu hal yang lebih baik dari apa yang ku berikkan padamu.
Berbahagialah Ly, demi aku.
Your friend,
                                                                                                                                                                        Zayn

Setiap kalimat bahkan kosakata itu tak berhentinya di tatap, seakan-akan semua huruf dan spasi itu punya kaki dan akan pergi dari kertasnya. Tapi menurut Lily Aron kalau memang huruf dan spasi itu ingin pergi, silahkan saja, tapi terkecuali satu kalimat itu. Biarkanlah ia tetap disitu.
Aku menyayangimu, Ly. Aku mencintaimu, Lily Aron.
Tidak ada kalimat yang lebih penting dari itu.
Setidaknya masih ada satu alasan untuk dia terus bernapas.
Karena, Zayn Malik mencintainya.

END