Kamis, 29 Mei 2014

Breath In Twilight

Dewi Chani presents
An Alternate Universe competition fiction
“Autumn: Breath In Twilight”
Summary: Cinta yang bernafas sesederhana senja dimusim gugur. Lelaki bermata biru dengan bibir tipis dan rambut blondenya. Gadis datar  yang –sangat— biasa saja, dengan rambut hitam yang selalu terurai rapi dengan jepitan kecil disana. Sadarkah mereka bahwa tangan takdir sedang menuliskan sesuatu dibawah langit England itu?

Happy reading!

Dibawah langit England.
Musim gugur ternyata sudah dimulai.
Daun-daunan kering dijalan terlihat seperti sampah romantis.
Angin-angin berhembus dengan angkuhnya.
Raja siang hampir saja menghilang di ufuk barat.
Untuk kesekian kalinya nafas berat itu dibuangnya lagi.
Niall Horan, seseorang yang sedari tadi memandangi musim gugur ditemani nafas-nafas panjang yang dihirup-ditahan beberapa menit-lalu dihembuskan. Dia baru saja akan membuang nafas lagi ketika apa yang di tunggunya itu pada akhirnya masuk kedalam saluran penglihatannya.
Gadis itu. Gadis dengan rambut hitam terurai dengan jepitan hijau diponi kanannya. Gadis yang selalu menikmati senja. Gadis yang punya sihir magis untuk menarik bibir tipisnya membentuk senyuman. Gadis yang diperhatikkannya dari jauh. Tentu saja gadis itu juga yang.. membuatnya jatuh cinta dalam diam dan jarak.
Niall menghampirinya untuk pertama kali, “Kau hampir kelewatan sunsetnya.”
“Sudah bosan melihatku dari jauh?”
 “Apa?”
***
“Kau tahu aku sering memperhatikanmu dari jauh waktu itu, Ly?”
“Tentu  saja.”
“Kau tidak takut?”
“Aku tidak peduli, toh, setidaknya aku merasa kau bukan hantu atau orang yang berniat jahat.”
“Cih. Mulai sekarang aku akan berniat jahat.”
“Yak! Niall Horan berhentilah mencubit hidungku!”
“Sudah kubilang aku akan berniat jahat padamu, Lily Aron!”
***
 Niall sudah mengenalnya lebih dari satu bulan. Namanya Lily Aron, rumahnya tidak jauh dari taman tempat gadis itu menunggu senja. Apalagi? Gadis baik-baik dari keluarga yang baik, gadis biasa, datar, walau terkadang banyak bicara juga. Tidak ada yang membedakkannya, terlihat sama seperti gadis yang lain. Atau justru mungkin Niall yang berbeda semenjak kehadirannya?
Ya.
Tempo jantungnya sudah berbeda.
Fokus matanya sudah berbeda.
Lengkungan bibirnya sudah berbeda.
Semua hal rasanya berbeda, ketika bersama Lily Aron.
“Ly, apa ibumu membuat pudding coklat lagi?”
“Tidak.”
“Jangan bohong! Kau hanya tidak mau aku datang kerumahmu!”
“Kau sangat mengenalku, Horan.”
“Cih. Pokoknya jam tujuh malam aku kerumahmu, Aron.”
“Terserah.”
***
Mereka berdua fokus pada senja. Seperti biasa.
“Senja.”
“Sesuatu yang mempertemukan kita, nona.”
“Jangan sok puitis, tuan.”
“Aku mau bertanya.”
“Katakan.”
“Lily Aron, maukah kau menjadi senjaku?”
“Apa?”
“Senjaku. Menemaniku sampai nyawaku tenggelam.”
“Sama sekali tidak lucu.”
“Karena aku memang sedang tidak bercanda.”
“Aku pulang.”
“Hei!”
Niall menggacak-ngacak rambutnya frustasi. Apa gadis itu baru menolaknya? Bukankah selama ini gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda tidak menyukainya?
***
Now Playing > In My Life – The Beatles
THERE ARE places I'll remember.. All my life, though some have changed…” Lily bersenandung—atau lebih tepatnya medesis sangat kecil— mengikuti suara milik John Lennon dari earphone yang menyumbat kedua telinganya sambil terus memandangi jalanan yang dipenuhi daun-daun maple kering. Sampai tiba-tiba ponsel yang ditaruh di saku bawah kemeja kesayangannya bergetar.
Lily menyernyitkan dahinya terganggu, dan merogoh sakunya. Mendapati ponselnya yang berdering. Lily menatap ponselnya lalu berdecak.
Incomming Calls.
“Oh, Dear. Lagunya baru mulai.
Lily menekkan salah satu tombol di layar ponselnya, dan sedetik kemudian ia mendapatkan omelan dari suara disebrang sana. “Ya. Halo. Tidak membalas apa?..  Aku tidak mengecek kotak masuk pesanku…… Aku masih di bus, Vinnie, sudah jangan mengomel... Sekitar setengah jam lagi aku sampai …….Ya, ya. Baiklah. Akan kuhubungi  jika sudah sampai di halte.”
***
Vinnie membuat laju mobilnya pelan ketika ia melihat seseorang yang tak asing baginya berdiri di halte. Seseorang itu, sepupunya, Lily—gadis itu terlihat lebih kurus dan dalam keadaan yang jelas sangat tidak baik.
Vinnie menepikan mobilnya dan memberhentikannya di hadapan Lily yang sedang berdiri. Lalu menurunkan kaca mobilnya, “Hai, manusia datar.”
Lily tersenyum tipis –nyaris tak terlihat— pada Vinnie, lalu membuka pintu mobil dan mengambil kursi kosong disamping kemudi dengan satu gerakan mulus.
Mobil Mini Cooper itu mulai melaju.
“Bagaimana London?"
“Tidak sebaik Round Maple.”
Vinnie melirik sekilas Lily Aron yang tepat di sampingnya. Gadis itu, mencintai Round Maple –kota tempat tinggal Vinnie sekaligus tempat tinggal Lily dulu—  lebih dari apapun. Lebih dari kotanya sekarang.
“London kotamu sekarang, Ly.”
“Tidak ada daun maple kering berserakkan di jalanan karena petugas kebersihan, tidak ada suara anak kecil di taman karena sibuk dengan gadget,  tidak ada pohon besar untuk berteduh karena gedung pencakar langit, tidak ad—“
“Dan tidak ada Zayn?”
Vinnie tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari Lily untuk pertanyaan yang ini.
“Berhentilah membanding-bandingkan kotamu dengan kotaku.”
“Aku hanya memaparkan kenyataan.”
“Kau hanya menyukai Round Maple karena terlalu banyak yang terjadi padamu di kota ini.”
“Bagus, berarti ada alasan mengapa aku menyukainya.”
“Kau lebih punya alasan kuat untuk menyukai London.”
“Apa?”
“Karena London adalah kotamu.”
Dan tak ada jawaban lagi dari Lily.
“Nikmati hari-harimu di Round Maple sekarang, dan aku yakin demi apapun kau akan merindukkan London. Gedung pencakar langitnya, tamannya yang tenang, jalanannya yang bersih.”
Lily membuka mulutnya, “Turunkan aku di taman biasa.”
Gadis bernama lengkap Vinnie Aron itu memutar kedua bola matanya kesal.
***
Lily berlari kencang ke arah sebuah pohon besar, mencari-mencari sesuatu di tanah dekat pohon itu, hingga akhirnya dia menemukan sebuah catatan kecil lusuh disana. Dia mengatur nafasnya, menyampirkan rambutnya kebelakang telinga, dan mulai membuka catatan lusuh itu.
Membuka masa lalu.
Hal yang sudah dia pendam selama ini..
Sesuatu yang kasat mata dan berbentuk abstrak tapi selalu ada dihatinya…
Tangannya mulai bergetar, rahangnya merapat, dan cairan tak berwarna itu lolos dari matanya. Dia mulai terisak. Dia terus membolak-balik catatan itu sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya sendiri. Menghabiskan malam itu dengan bulan yang hanya setengah.
 Jika cintaku telah pergi, apakah aku harus pergi juga?
Jika cintaku telah pergi, apakah aku harus melihat untuk cinta baru?
Apa yang harus kulakukan?
***
Sudah tiga hari, gadis itu menghindarinya. Bahkan dia tidak lagi menunggu senja seperti biasa. Niall merasa bersalah.
Apa?
Apa mengungkapkan perasaannya salah?
Apa itu membuatnya terlihat menjijikkan?
Sungguh dia hanya ingin tahu keadaan gadis itu, bukan untuk meminta jawaban atas pertanyaannya waktu itu. Dia ingin melihatnya.
Sekarang dia ada didepan rumah keluarga Aron. Niall memencet bel disamping pintu kayu itu.
“Niall?”
“Iya, Mrs. Apa aku bisa bertemu Lily?”
“Maaf, tap—“
“Hanya lima menit. Sungguh aku hanya ingin menjelaskan sesuatu. Kumohon.”
“Bukan begitu, tapi Lily memang benar-benar tidak ada dirumah. Ia berkunjung kerumah sepupunya.”
Niall ingin sekali bertanya dimana alamat sepupunya itu, tapi bukankah itu terlalu tidak sopan?
“Ah baiklah. Terimakasih, maaf mengganggu Mrs.”
“Niall.”
“Ya?”
“Masuklah. Ada yang ingin ku bicarakan.”
***
“Dia bukan anak kandung kami. Kami mengadopsinya dari sebuah panti asuhan. Dia anak yang sangat ceria, membuat keluarga kami lebih ramai. Tapi itu sebelum Zayn meninggal.”
“Zayn?”
“Teman dekat Lily dirumah kami yang dulu. Sejak Zayn meninggal, dia terlihat seperti mayat hidup setiap keluar rumah, itu alasan kenapa kami pindah kesini. Entahlah, dia terlihat seperti trauma. Aku rasa dia benar-benar berusaha  memendam semua tentang Zayn. Aku sangat senang ketika dia akhirnya membuka dirinya untuk berteman denganmu. Dan kurasa sekarang ada sesuatu lagi yang membuatnya meningat Zayn.”
“Aku yang membuatnya mengingat Zayn. Maaf.”
“Apa?”
“Aku menyukainya, Mrs. Aku menyatakan perasaanku padanya. Dan semenjak itu dia menghindariku.”
“Buat dia bahagia, Niall.”
“Mrs?”
“Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan padanya. Harapanku hanyalah dirimu. Aku rasa dia juga menyukaimu.”
“Menyukaiku? Tapi…”
“Dia hanya takut mengalami apa yang dulu dia rasakan ketika menyukai Zayn. Kurasa dia hanya menyembunyikkan perasaannya padamu.”
“Benarkah?”
“Lily selalu mengatakkan jika ‘bahagia diakhir’ sama sekali bukan tipenya. Dan kurasa dia masih merasa seperti itu sekarang.”
Dengan satu gerakan mulus, Niall berdiri dari sofa empuk itu.
“Aku pamit, aku harus pergi sekarang, Mrs.”
“Mau kemana?”
Kepala Niall menunjuk ke arah pintu keluar, “Membahagiakan putrimu, tentu saja.”
Mrs. Aron sontak tersenyum simpul mendengar jawaban Niall. Dia tidak salah memilih untuk anaknya.
***
Sudah empat hari sejak Niall menyatakkan perasaannya. Itu berarti sudah tiga hari dia tinggal dirumah sepupunya, Vinnie Aron.
Gadis berambut hitam rapi itu memandang dunia luar dari jendela kamar.
Daun-daun kering yang jatuh itu gugur bersama hembusan angin, seperti hatinya yang ikut gugur bersama hembusan nafas terakhir Zayn.
Zayn. Masa lalunya. Seseorang yang membuatnya merasa lengkap ketika bernafas. Seseorang yang ia ‘kira’ adalah separuh jiwanya. Seseorang yang membuatnya seperti dipukul beban saat ditinggal pergi. Seseorang yang membuat ia menutup pintu hatinya.
Dan disaat Lily hampir saja memendam semua tentang Zayn dalam hatinya, lelaki bernama Niall itu menyatakkan cinta padanya. Bukan tidak suka. Bukan karena ia masih menyukai Zayn. Tapi karena ia tak pernah diperlakukan seperti itu. Ia takut, ia takut memulai hal yang menyenangkan. Dia merasa bahagia itu bukan tipenya.
Karena setiap dia bahagia, pasti selalu ada sesuatu yang salah disana.
Tapi.. dia tak bisa membohongi perasaannya. Lelaki dengan rambut blonde dan tingkah-tingkah menyebalkan. Lelaki yang selalu menemaninya menonton senja.  Lelaki itu mengobati luka hatinya, dan berhasil membuat pintu hatinya sedikit terbuka.
Ya, musim…. Gugur. Hatinya juga.
Lily mengambil kertas lusuh didalam saku bajunya. Surat dari Zayn.
Dear Lily, bunga musim panasku…
Aku tak tahu apa tujuanku menulis ini. Mungkin ini terlihat seperti drama-drama, tapi… mungkin aku tidak bisa mengungkapkan kalimat-kalimat sepuitis ini secara langsung padamu. Bukan tidak mau Ly, aku tidak bisa. Kau tau,  bukan? Penyakit hepatitis ini membuatku terlihat sangat lemah. Bodoh. Pengecut. Bahkan untuk sekedar mengungkapkan perasaanku pada gadis yang kusukai saja tidak bisa.
Ly, aku sakit. Disini, di dadaku rasanya sakit sekali. Aku lelah seperti ini. Tapi aku menahannya. Karena aku punya hal yang dapat membuatku bertahan. Bukan obat-obatan, tapi kau.
Aku sangat merasa tidak adil saat aku hidup ditemani penyakit yang menggerogoti tubuhku. Tapi aku sangat berterimakasih pada Tuhan karena mempertemukan kita.
Aku menyayangimu, Ly. Aku mencintaimu, Lily Aron.
Aku suka ketika kita bertukar pikiran, mengomentari berita-berita televisi, atau bercerita sedikit tentang masa kecil masing-masing, dan sekedar mengisi memoriku yang hampa. Terimakasih, terimakasih. Karena telah memberikkan secuil kenangan yang dapat kubanggakan.
Carilah lelaki yang dapat memberikkanmu hal yang lebih baik dari apa yang ku berikkan padamu.
Berbahagialah Ly, demi aku.
Your friend,
                                                                                                                                                                        Zayn
***
Vinnie menatap Lily yang menghabiskan harinya hanya dengan memandang jendela.
“Berhenti memasang tampang datar seperti itu, Lily Aron.”
“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Vinnie Aron.”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Apa yang harus kulakukan, Vin?”
“Bisakah kau berhenti bertanya pada orang lain?”
“Apa?”
“Mungkin ini terlalu puitis. Tapi ada beberapa hal yang tak perlu kau tanyakkan.”
“Lalu?”
“Hatimu pasti tau kemana harus berlabuh.”
***
Niall menatap senja di hadapannya, kembali dengan hembusan nafasnya.
Sama seperti ia menunggu gadis itu dulu.
Dan kali ini dia juga harus menunggu.
Lagi.
Bukannya dia tidak mau menghampiri Lily lebih dulu ke rumah sepupu gadis itu. Bahkan Mrs. Aron menawarkan alamatnya, tapi dia menolak. Lelaki berambut blonde ini memilih menunggu Lily datang. Membiarkan gadis itu menata perasaannya dulu. Agar gadis itu bebas memilih apa yang ia mau.
Bukannya tidak mau memperjuangkan cintanya, hanya dia tidak ingin melihat gadis itu tertekan. Dan dialah penyebabnya. Membuat gadis itu hilang dari rumahnya berhari-hari. Dia merasa, mencintai Lily Aron hanya sebuah kesalahan.
Jika memang mencintai Lily itu salah, maka Niall tidak akan pernah ingin menjadi benar.
Tapi, sungguh..
Niall tidak pernah menyesali waktu dimana ia menghampiri gadis itu untuk pertama kali. Membiarkan pisau keberanian itu memotong jarak.
Dan…
Niall juga tidak pernah menyesali waktu dimana ia menyatakkan perasaannya pada gadis itu. Membiarkan coretan abstrak dan kasat mata bernama ‘cinta’ itu tak dapat hapus lagi.
Dia benar-benar bersyukur dengan semua yang dia pernah lakukan untuk gadis itu.
Dusta, jika dia bilang ini tidak menyakitkan.
Dia mencintai seseorang dan sudah menyatakkannya, tapi dia tidak bisa memperjuangkan rasanya.  
Seperti ikut kompetisi dan sudah mengikuti persyaratannya, tapi dia tidak bisa apapun sampai menunggu hasil keputusan juri.
Memendamnya dalam diam. Menunggunya. Seakan-akan tidak ada usaha lagi untuk mendapatkannya.  Padahal, memang itu ketentuannya.
Cinta itu tentang meng-komitmen-kan dua puzzle yang berbeda. Niall sudah berusaha menawarkan diri agar puzzle miliknya dan puzzle Lily disatukan, dan sekarang semuanya tergantung Lily. Bersedia menyatukkan puzzle-nya  juga atau tidak.
Maka cintanya pada gadis itu betul-betul bisa mengalahkan egonya. Tulus.
“Bodoh.”
 Niall mendongakkan kepalanya, dan mendapati Lily dihadapannya. “Lily?”
“Menyatakkan cinta padaku, lalu kutinggal pergi. Hanya melihat senja yang dapat kau lakukan setelah itu?”
Lily mengambil duduk di bagian kursi taman yang masih kosong. Niall menatapnya dengan alisnya yang menyambung karena bingung. Tapi terlihat  sangat senang. Tentu saja, matamu seperti blur berhari-hari dan kini titik fokus itu kembali duduk di sampingmu.
“Aku… Bukan begitu, Ly.”
“Aku dengar ibuku menawarkan alamat rumah sepupuku, dan kau malah menolaknya. Benar?”
Lily sama sekali tidak menoleh. Dia memfokuskan matanya pada senja.
“Aku hanya ingin memberimu waktu untuk menata perasaan. Maaf.”
“Maaf? Untuk apa?”
“Karena membuatmu mengingat Zayn,” Niall juga ikut memalingkan pandangannya pada senja.
“Aku merindukannya. Aku sangat merindukan Zayn, Niall.”
Niall memenjamkan matanya. Menikmati angin. Memperkecil sakit didadanya. “Aku tahu.”
“Aku ragu tentang perasaanmu padaku, Niall. Berhari-hari tak melihatku kau hanya diam seperti itu.”
“Lily, aku.. aku hanya tidak ingin membuatmu pergi lagi jika aku memperlihatkan perasaanku.”
“Perlihatkan sekarang.”
“Apa?”
“Perasaanmu padaku.”
“Ly…”
“Perlihatkan. Dan aku takkan pergi.”
Niall menatap gadis itu. Matanya masih tetap setia pada senja, dan rambutnya yang terurai rapi kini terbawa angin. Ekspresinya… entah. Seperti biasa. Datar.
Niall menahan nafasnya.
“Aku tidak memaksamu untuk yakin pada perasaanku. Aku tidak berniat untuk membuatmu  mengingat Zayn. Aku hanya ingin menyatakkan perasaanku waktu itu, dan aku hanya berharap kau bisa menerimaku. Tapi aku juga menerima kalau kau tidak bisa membalas perasaanku. Aku tidak suka melihatmu tertekan. Sungguh.” Niall memejamkan matanya, “Aku minta maaf, tapi aku mencintaimu, Lily Aron.”
Pria berbibir tipis itu membuka matanya, “Aku tahu bahagia diakhir itu bukan tipemu. Aku tahu kau takut mencobanya lagi. Jadi, bukannya aku tak memperjuangkanmu, aku hanya tak ingin membuatmu tertekan. Ini bebas. Kau hanya perlu menjawab sesukamu, Ly. Lily Aron, maukah kau menjadi senjaku?”
Lily menoleh ke arah Niall yang menatapnya. “Tidak.”
Niall memejamkan matanya lagi. Dan yang kali ini lebih lama. Hatinya gugur.
Dia mendengarnya. Jawaban yang paling punya kemungkinan paling besar.
Satu pertanyaan dalam pikirannya: ‘Apa alasan dari kata ‘tidak’ itu?’
Jika alasannya adalah Niall tidak cukup pantas untuk gadis itu.. Dia sadar diri. Karena itu berarti ada kemungkinan untuk melihat gadis itu bahagia walaupun bukan dengannya.
Jika alasannya adalah gadis itu mencintai Zayn.. Dia juga akan mengerti. Karena itu juga berarti ada kemungkinan untuk melihat gadis itu jatuh cinta lagi pada pria walaupun bukan dengannya.
Tapi jika alasannya adalah gadis itu ragu akan perasaannya.. Dia tidak akan sadar diri atau mengerti. Karena, dia akan sakit.
Niall tidak bisa berbohong; ini benar-benar menyakitkan ketika seseorang meragukkan cintamu.
***
“Tidak.”
Lily melihat lelaki itu memejamkan matanya.
“Aku tidak mau menjadi senjamu.”
Lelaki itu membuka matanya, lalu tersenyum. “Tak masalah.”
“Tapi aku mau jadi nafasmu.”
“Apa?”
“Senja tak muncul setiap saat, sedangkan nafas selalu ada selama hidupmu. Sampai mati.”
“Ly?”
“Mungkin bahagia di akhir bukan tipeku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak punya hak untuk menghalangi kebahagianmu. Aku juga mencintaimu, Niall Horan.”
Tubuh Niall beku. Gadis dihadapannya memeluknya. Dia rasa musim gugur sudah menjadi musim salju sekarang. Terlalu dingin, untuk tidak berpelukkan dihadapan senja.
Senja, terimakasih, aku sudah mendapatkan nafasku. –Niall Horan—
***
Lily menempelkan ponsel di telinganya sambil tersenyum mengingat kalimat yang keluar dari mulut seseorang di sebrang sana.
“Bagaimana London?”
“Lebih baik dari Round Maple, tentu saja.”
Suara tawa renyah Vinnie terdengar, “Senang mendengarnya. Apa yang membuatmu berpikir begitu, Lily Aron?”
“Aku lebih bisa menghargai kotaku sendiri setelah mengunjungi kota orang lain.”
“Liburan musim panas tahun ini aku ke London.”
“Dan aku yakin demi apapun kau akan merindukkan Round Maple.”
“Itu script-ku, Ly!”
Lily tertawa kecil –dan itu pertama kalinya Vinnie mendengarnya tertawa semenjak Zayn meninggal, “Vinnie.”
“Ya?”
“Hatiku berlabuh di London.”
***
FIN
So that’s why, I must go to England.
Seperti Lily, aku ingin lebih menghargai tempat tinggalku, Indonesia.

Learn more about others countries make ourself learn more details about our country too.


Minggu, 11 Mei 2014

Finished

Patah hati mengajarkan kamu satu hal; bersyukur bahwa yang kamu punya setidaknya lebih baik, daripada sesuatu yang kamu ingin tapi tidak pasti.

Kamu yang bodoh. Kamu yang memilih menunggunyahal yang tidak pasti. Yang kapan saja bisa membuatmu tersenyum bahagia atau menangis sakit tanpa suara. Ketika kamu memilih menunggunya, jangan salahkan dia atau marah padanya jika pada akhirnya kamu merasa sakit hati. Kamu yang memutuskan untunk menunggunya. Itu artinya kamu juga siap menerima resiko apapun yang akan terjadi pada hal yang kamu tunggu.
Menunggu itu seperti jalan-jalan di mall, maka harus siap menerima resiko sakit hati karena lelah, hanya untuk diskon baju ber-merk yang belum tentu bisa kamu dapatkan.
Tapi ada satu hal yang membuatmu terlihat (walaupun tak ada yang pernah memperhatikkan ini) hebat saat itu; kamu mencintanya sampai akhir. Tidak berhenti di tengah jalan. Meneruskan perjalanan sampai di kejar harimau dan berhenti di gang buntu.
Setidaknya.. kamu berhasil menyelesaikannya sampai waktunya habis. Mencintainya sampai Tuhan dan semesta berkonspirasi untuk membuatmu berhenti.
Kamu tahu, bukan? Memainkan game sampai 'game over' akan lebih menyenangkan dibanding menyerah pada tombol 'resume' lalu 'exit'. Walau pada akhirnya, kamu tidak memenangkan game.

Menyesalah.
Tapi setidaknya, kamu sudah tahu.
Penasaran mu dan rasa ingin selalu memberi waktu padanya sudah selesai.
We are finished, baby...

Yang baru sampai garis finish,
Kamu

Minggu, 16 Februari 2014

Candle


A good teacher is like a candle; it consumes itself to light the way for others.

Problem

Ketika kita mempunyai masalah…

Sebagian orang akan mengambil kesimpulan, tanpa tahu keseluruhannya.
Sebagian orang lainnya hanya akan diam, karena mereka tak berminat untuk tahu.
Sebagian orang lagi akan menghakimi, tanpa tahu sama sekali.
Dan sisanya lagi, akan berusaha mencari tahu keseluruhannya. Entah untuk apa.

Kita pun lebih baik diam. Karena..

 “Masalah bukan makalah yang harus dipresentasikan.” –(Alm. @toiletcafe)

Biarkan saja nama kita buruk dia luar, karena sesungguhnya pun cukup kita yang tahu hal-hal baik di dalamnya.
Dan tidak semua dari mereka yang ingin tahu itu peduli, kebanyakkan dari mereka hanya penasaran.

Sabtu, 15 Februari 2014

Where is location of quietness?

Ada yang frustasi karena sebuah games.
Apa akal itu sebanding dengan sesuatu yang malah diciptakan dari akal itu sendiri?
Ada yang hidupnya pasif karena internet.
Apa sosialisasi itu sebanding dengan sebuah jaringan yang hanya dipenuhi teks tanpa intonasi?
Ada yang membuang bayinya di tong sampah.
Apa sampah itu sebanding dengan sebuah nyawa?
Ada yang korupsi sampai lupa berapa uang yang dia punya.
Apa hak orang lain itu sebanding dengan kepuasan diri sendiri?
Ada yang rumahnya masih terbuat dari kardus.
Apa kardus itu sebanding dengan batu bata kokoh  yang dilapisi semen?
Ada yang berambisi untuk sekedar jabatan.
Apa kemauan tinggi itu sebanding dengan sekedar kekuasaan?
Ada yang berlomba-lomba mengumpulkan harta.
Apa kemampuan itu hanya sebanding dengan benda yang memliki nominal?
Ada yang sibuk mengurusi hidup idola nya.
Apa waktu untuk beraktivitas itu sebanding untuk mengurusi aktivitas orang lain?
Kita semua tahu bahwa semua jawaban yang kita punya juga masih mempunyai sebuah pertanyaan lagi yang harus dijawab.
Kenapa harus terlalu rumit?
Padahal jelas-jelas ini (hanya) dunia untuk sementara, kan?
Kenapa semuanya seperti terlalu sibuk dan terlihat seperti sudah lupa fakta itu?
Benarkah mereka telah tenggelam dalam kesengsaraan dan kebahagiaan semu?
Lalu dimanakah letak pelampung ketenangan dari segala macam persoalan di dunia fana ini?
Sebagian (sangat) kecil dari manusia berusaha mencari pelampung itu.
Dan tak pernah ada satu pun yang menyadari letaknya.
Padahal sangat dekat.
Padahal sudah menjadi bagian dari kebiasaan.
Padahal sangat sederhana.
Karena sesungguhnya,
letak ketenangan itu hanya sejauh kening dan sajadah.


Ketika tidak ada bahu untuk bersandar,
selalu ada lantai untuk bersujud.

Hormat saya,
Salah satu penghuni dunia fana

Minggu, 09 Februari 2014

Rain

I like the sound of your footsteps and the smell of petrichor.
Nice to meet you, Rain.


Sincerely,
 Newbie-pluviophile

Perfect

Lidah-lidah itu bergelut menghasilkan nada remeh.
Mata-mata itu juga akan menyipit tak suka.
Hidung-hidung itu selalu menciptakan dengusan tak peduli.
Saraf pada leher-leher itu pun tak pernah tau arti menunduk.
Dan, hati-hati itu hanya mengenal satu kata; sempurna.
Sempurna.
Itu namaku.
Mereka mengerjarku.
Dan aku malah menjauhi mereka.
Kenapa?
Itu karena mereka tidak sabar. Tidak mau menunggu.
Aku lebih suka dan akan luluh jika ditunggu, dibandingkan dikejar.
Mereka yang setia menunggu memperlihatkanku dua hal; setia dan tulus.
Dan, jika mereka bilang; sebenarnya mereka tidak mengejarku. Melainkan beginilah cara mereka menungguku.
Aku tahu mereka berdusta.
Karena sesungguhnya, kerendahan hati lah yang merupakan ruang tunggu bagi kesempurnaan.

Yang kamu kejar,
Sempurna

Little conversation

Dimana?
Aku mencintainya diantara jarak.
Bagaimana?
Karenanya, diamku jadi terasa lebih bermakna.
Lalu?
Aku mengirim hatiku padanya, tapi dia hanya membaca dan tidak menjawab.
Tidak ingin pergi?
Setia itu hanya mitos, dan aku akan megubahnya, jadi nyata.
Atau mencoba melupakannya?
Aku mencoba untuk melupakannya, tapi itu sama sulitnya seperti mengingat orang yang tak pernah ku kenal.
Baiklah. Lalu apa masih ingin berharap?
Aku tidak berharap, aku lebih suka berdo’a. Setiap malam.
Berdo’a agar dia mencintaimu, begitu?
Bukan begitu. Tapi begini..
“Tuhan, lepaskan dia dari semua yang menghilangkan senyum indahnya. Biarkan candanya berserakan di antara sepinya malam ini.”
Jadi, kau takkan pernah berhenti mencintainya?
Aku tidak akan pernah berhenti mencintainya, aku hanya berhenti untuk menunjukkan itu.
Dan tak pernah menangis?
Sekali. Dan sepertinya terakhir.
Kenapa?
Karena; yang paling sering tertawa, memang paling terlihat bodoh ketika akhirnya dia menangis.
Merasa bodoh?
Aku hanya belum pintar.  

Sampai-sampai… 
Cintaku tak terbalas. Cintaku tak diberikkan waktu untuk berbunga.

Tertanda,
Aku

Senin, 27 Januari 2014

Pintu

Awalnya aku hanya memandang sebuah pintu. Bukan pintu yang bagus, unik, bersih, apalagi mahal. Bukan. Tapi sebuah pintu yang membuat semua orang yang melihatnya (atau hanya aku), akan merasa ada ruangan nyaman dibaliknya. Akupun melihat dari jauh, dan memberitahu beberapa temanku tentang pintu itu.
Sampai suatu saat, entah bagaimana caranya; aku ada di depan pintu itu. Seraya memerhatikkan dan membayangkan betapa nyamannya ruangan di baliknya. Aku mulai penasaran, ketika  mengingat ruangan itu rasanya sangat menggebu-gebu.
Dan kuputuskan untuk menunggu dan mengetuk pelan kayu kotak dihadapanku itu, sambil berkata: “Ada orang di dalam?”
“Ada.” sahut seseorang dari dalam.
 Aku ingin membukanya, tapi, sepertinya dikunci. Akupun hanya menunggu dan mengetuk beberapa kali (jumlah yang dapat di hitung), tapi kali ini ketukanku lebih keras. Sampai akhirnya aku merasa lelah menunggunya terbuka, dan berfikir untuk meninggalkan pintu itu.
Aku hanya merasa; sepertinya ruangan nyaman itu sedang menungggu seseorang mengetuk pintunya, tapi seseorang itu bukan aku.
Dengan satu ketukan keras dan nada kesal aku berkata, “Terserah. Aku akan pergi.” Aku membalik tubuhku dan melangkah pergi.
Tapi ada suara gesekan kusen dan kayu; pintu terbuka, “Aku tidak menunggu orang lain yang kau fikirkan.”
Aku menoleh, dan kembali berdiri di depan pintu itu. Tersenyum simpul melihat celah; kini ruangan itu terlihat. Aku semakin membayangkan ruangan itu.
Tapi seiringnya waktu..
Celah itu seperti tak berarti apapun, hanya sebuh celah kecil (yang memberikkan harapan besar).
Dan disinilah aku, masih diam, bingung, sibuk memikirkan; pergi atau tetap disini.
Kadang kau terlihat seperti ruangan yang nyaman, tapi egois. Disaat aku akan pergi, kau menjelaskan apa yang salah; seakan-akan kau tidak ingin aku pergi. Tapi disaat aku tetap disini, kau sama sekali tidak melakukan apapun; seakan-akan kau tidak ingin aku masuk ke dalamnya.
Benar. Aku tidak berprasangka buruk, tapi sikapmu memaksaku untuk seperti itu.
Tertanda,
Penganggum pintu

Kamis, 02 Januari 2014

Surat Dari Semesta


Ritme hujan terdengar oleh telinganya.
Petrichor pun di cium hidungnya.
Butiran air jatuh angkuh diatas kulitnya.
Kabut itu juga menghalangi matanya.
Dan eluhan-eluhan mulai dikecapkan lidahnya.

Sudah dapat mendengar ritme hujan.
Mencium petrichor.
Merasakan air.
Melihat kabut.
Tapi kenapa malah eluhan yang terucap?

Sesungguhnya, si tuli ingin sekali mendengar, walau itu hanya ritme hujan.
Si buta juga ingin sekali melihat, walau itu hanya kabut.
Si bisu juga ingin sekali berbicara, walau itu hanya mengucap syukur.
Dan yang kekeringan pun ingin sekali hujan, walau itu hanya gerimis.

Yang punya seperti tidak menginginkan.
Sedangkan yang tidak punya jelas-jelas sangat menginginkannya.
Padahal, semua tahu kalau Tuhan tidak pernah tidur.
Dan Semesta selalu menjadi saksi bisu yang nyata.

Tidak takutkah yang punya, jika semua yang dipunya-nya diambil Tuhan lalu diberikan pada yang tidak punya?
Aku menunggu jawabanmu..

Saksi bisumu,
Semesta.