Dewi Chani presents
An Alternate Universe
competition fiction
“Autumn: Breath In Twilight”
Summary: Cinta yang bernafas sesederhana senja dimusim gugur. Lelaki bermata biru dengan bibir tipis
dan rambut blondenya. Gadis datar yang
–sangat— biasa saja, dengan rambut hitam yang selalu terurai rapi dengan
jepitan kecil disana. Sadarkah mereka bahwa tangan takdir sedang menuliskan
sesuatu dibawah langit England itu?
Happy reading!
Dibawah langit England.
Musim gugur ternyata sudah dimulai.
Daun-daunan kering dijalan terlihat seperti sampah romantis.
Angin-angin berhembus dengan angkuhnya.
Raja siang hampir saja menghilang di ufuk barat.
Untuk kesekian kalinya nafas berat itu dibuangnya lagi.
Niall Horan, seseorang yang sedari tadi memandangi musim
gugur ditemani nafas-nafas panjang yang dihirup-ditahan beberapa menit-lalu
dihembuskan. Dia baru saja akan membuang nafas lagi ketika apa yang di
tunggunya itu pada akhirnya masuk kedalam saluran penglihatannya.
Gadis itu. Gadis dengan rambut hitam terurai dengan jepitan
hijau diponi kanannya. Gadis yang selalu menikmati senja. Gadis yang punya
sihir magis untuk menarik bibir tipisnya membentuk senyuman. Gadis yang
diperhatikkannya dari jauh. Tentu saja gadis itu juga yang.. membuatnya jatuh
cinta dalam diam dan jarak.
Niall menghampirinya untuk pertama kali, “Kau hampir
kelewatan sunsetnya.”
“Sudah bosan melihatku dari jauh?”
“Apa?”
***
“Kau tahu aku sering memperhatikanmu dari jauh waktu itu,
Ly?”
“Tentu saja.”
“Kau tidak takut?”
“Aku tidak peduli, toh, setidaknya aku merasa kau bukan
hantu atau orang yang berniat jahat.”
“Cih. Mulai sekarang aku akan berniat jahat.”
“Yak! Niall Horan berhentilah mencubit hidungku!”
“Sudah kubilang aku akan berniat jahat padamu, Lily Aron!”
***
Niall sudah
mengenalnya lebih dari satu bulan. Namanya Lily Aron, rumahnya tidak jauh dari
taman tempat gadis itu menunggu senja. Apalagi? Gadis baik-baik dari keluarga
yang baik, gadis biasa, datar, walau terkadang banyak bicara juga. Tidak ada yang
membedakkannya, terlihat sama seperti gadis yang lain. Atau justru mungkin
Niall yang berbeda semenjak kehadirannya?
Ya.
Tempo jantungnya sudah berbeda.
Fokus matanya sudah berbeda.
Lengkungan bibirnya sudah berbeda.
Semua hal rasanya berbeda, ketika bersama Lily Aron.
“Ly, apa ibumu membuat pudding coklat lagi?”
“Tidak.”
“Jangan bohong! Kau hanya tidak mau aku datang kerumahmu!”
“Kau sangat mengenalku, Horan.”
“Cih. Pokoknya jam tujuh malam aku kerumahmu, Aron.”
“Terserah.”
***
Mereka berdua fokus pada senja. Seperti biasa.
“Senja.”
“Sesuatu yang mempertemukan kita, nona.”
“Jangan sok puitis, tuan.”
“Aku mau bertanya.”
“Katakan.”
“Lily Aron, maukah kau menjadi senjaku?”
“Apa?”
“Senjaku. Menemaniku sampai nyawaku tenggelam.”
“Sama sekali tidak lucu.”
“Karena aku memang sedang tidak bercanda.”
“Aku pulang.”
“Hei!”
Niall menggacak-ngacak rambutnya frustasi. Apa gadis itu
baru menolaknya? Bukankah selama ini gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda
tidak menyukainya?
***
Now Playing > In My Life – The
Beatles
“THERE
ARE places I'll remember.. All my life, though some have changed…” Lily bersenandung—atau lebih tepatnya medesis sangat kecil— mengikuti
suara milik John Lennon dari earphone yang menyumbat kedua telinganya sambil
terus memandangi jalanan yang dipenuhi daun-daun maple kering.
Sampai tiba-tiba ponsel yang ditaruh di saku bawah kemeja kesayangannya
bergetar.
Lily menyernyitkan
dahinya terganggu, dan merogoh sakunya. Mendapati ponselnya yang berdering. Lily
menatap ponselnya lalu berdecak.
Incomming Calls.
“Oh, Dear. Lagunya baru mulai.”
Lily menekkan salah
satu tombol di layar ponselnya, dan sedetik kemudian ia mendapatkan omelan dari
suara disebrang sana. “Ya. Halo. Tidak membalas apa?.. Aku tidak mengecek kotak masuk pesanku…… Aku
masih di bus, Vinnie, sudah jangan mengomel... Sekitar setengah jam lagi aku
sampai …….Ya, ya. Baiklah. Akan kuhubungi jika sudah sampai di halte.”
***
Vinnie membuat laju
mobilnya pelan ketika ia melihat seseorang yang tak asing baginya berdiri di
halte. Seseorang itu, sepupunya, Lily—gadis itu terlihat lebih kurus dan
dalam keadaan yang jelas sangat tidak baik.
Vinnie menepikan
mobilnya dan memberhentikannya di hadapan Lily yang sedang berdiri. Lalu menurunkan
kaca mobilnya, “Hai, manusia datar.”
Lily tersenyum tipis
–nyaris tak terlihat— pada Vinnie, lalu membuka pintu mobil dan mengambil kursi
kosong disamping kemudi dengan satu gerakan mulus.
Mobil Mini Cooper itu mulai melaju.
“Bagaimana London?"
Mobil Mini Cooper itu mulai melaju.
“Bagaimana London?"
“Tidak sebaik Round
Maple.”
Vinnie melirik sekilas
Lily Aron yang tepat di sampingnya. Gadis itu, mencintai Round Maple –kota tempat
tinggal Vinnie sekaligus tempat tinggal Lily dulu— lebih dari apapun. Lebih dari kotanya
sekarang.
“London kotamu sekarang, Ly.”
“Tidak ada daun maple kering berserakkan di jalanan karena
petugas kebersihan, tidak ada suara anak kecil di taman karena sibuk dengan gadget, tidak ada pohon besar untuk berteduh karena
gedung pencakar langit, tidak ad—“
“Dan tidak ada Zayn?”
Vinnie tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari
Lily untuk pertanyaan yang ini.
“Berhentilah membanding-bandingkan kotamu dengan kotaku.”
“Aku hanya memaparkan kenyataan.”
“Kau hanya menyukai Round Maple karena terlalu banyak yang
terjadi padamu di kota ini.”
“Bagus, berarti ada alasan mengapa aku menyukainya.”
“Kau lebih punya alasan kuat untuk menyukai London.”
“Apa?”
“Karena London adalah kotamu.”
Dan tak ada jawaban lagi dari Lily.
“Nikmati hari-harimu di Round Maple sekarang, dan aku yakin
demi apapun kau akan merindukkan London. Gedung pencakar langitnya, tamannya
yang tenang, jalanannya yang bersih.”
Lily membuka mulutnya, “Turunkan aku di taman biasa.”
Gadis bernama lengkap Vinnie Aron itu memutar kedua bola
matanya kesal.
***
Lily berlari kencang ke arah sebuah pohon besar,
mencari-mencari sesuatu di tanah dekat pohon itu, hingga akhirnya dia menemukan
sebuah catatan kecil lusuh disana. Dia mengatur nafasnya, menyampirkan
rambutnya kebelakang telinga, dan mulai membuka catatan lusuh itu.
Membuka masa lalu.
Hal yang sudah dia pendam selama ini..
Sesuatu yang kasat mata dan berbentuk abstrak tapi selalu
ada dihatinya…
Tangannya mulai bergetar, rahangnya merapat, dan cairan tak
berwarna itu lolos dari matanya. Dia mulai terisak. Dia terus membolak-balik
catatan itu sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya sendiri. Menghabiskan
malam itu dengan bulan yang hanya setengah.
Jika cintaku telah pergi, apakah aku harus
pergi juga?
Jika cintaku telah
pergi, apakah aku harus melihat untuk cinta baru?
Apa yang harus
kulakukan?
***
Sudah tiga hari, gadis itu menghindarinya. Bahkan dia tidak
lagi menunggu senja seperti biasa. Niall merasa bersalah.
Apa?
Apa mengungkapkan perasaannya salah?
Apa itu membuatnya terlihat menjijikkan?
Sungguh dia hanya ingin tahu keadaan gadis itu, bukan untuk
meminta jawaban atas pertanyaannya waktu itu. Dia ingin melihatnya.
Sekarang dia ada didepan rumah keluarga Aron. Niall memencet
bel disamping pintu kayu itu.
“Niall?”
“Iya, Mrs. Apa aku bisa bertemu Lily?”
“Maaf, tap—“
“Hanya lima menit. Sungguh aku hanya ingin menjelaskan
sesuatu. Kumohon.”
“Bukan begitu, tapi Lily memang benar-benar tidak ada
dirumah. Ia berkunjung kerumah sepupunya.”
Niall ingin sekali bertanya dimana alamat sepupunya itu,
tapi bukankah itu terlalu tidak sopan?
“Ah baiklah. Terimakasih, maaf mengganggu Mrs.”
“Niall.”
“Ya?”
“Masuklah. Ada yang ingin ku bicarakan.”
***
“Dia bukan anak kandung kami. Kami mengadopsinya dari sebuah
panti asuhan. Dia anak yang sangat ceria, membuat keluarga kami lebih ramai.
Tapi itu sebelum Zayn meninggal.”
“Zayn?”
“Teman dekat Lily dirumah kami yang dulu. Sejak Zayn
meninggal, dia terlihat seperti mayat hidup setiap keluar rumah, itu alasan
kenapa kami pindah kesini. Entahlah, dia terlihat seperti trauma. Aku rasa dia
benar-benar berusaha memendam semua
tentang Zayn. Aku sangat senang ketika dia akhirnya membuka dirinya untuk
berteman denganmu. Dan kurasa sekarang ada sesuatu lagi yang membuatnya
meningat Zayn.”
“Aku yang membuatnya mengingat Zayn. Maaf.”
“Apa?”
“Aku menyukainya, Mrs. Aku menyatakan perasaanku padanya.
Dan semenjak itu dia menghindariku.”
“Buat dia bahagia, Niall.”
“Mrs?”
“Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan padanya.
Harapanku hanyalah dirimu. Aku rasa dia juga menyukaimu.”
“Menyukaiku? Tapi…”
“Dia hanya takut mengalami apa yang dulu dia rasakan ketika
menyukai Zayn. Kurasa dia hanya menyembunyikkan perasaannya padamu.”
“Benarkah?”
“Lily selalu mengatakkan jika ‘bahagia diakhir’ sama sekali
bukan tipenya. Dan kurasa dia masih merasa seperti itu sekarang.”
Dengan satu gerakan mulus, Niall berdiri dari sofa empuk
itu.
“Aku pamit, aku harus pergi sekarang, Mrs.”
“Mau kemana?”
Kepala Niall menunjuk ke arah pintu keluar, “Membahagiakan
putrimu, tentu saja.”
Mrs. Aron sontak tersenyum simpul mendengar jawaban Niall.
Dia tidak salah memilih untuk anaknya.
***
Sudah empat hari sejak Niall menyatakkan perasaannya. Itu
berarti sudah tiga hari dia tinggal dirumah sepupunya, Vinnie Aron.
Gadis berambut hitam rapi itu memandang dunia luar dari
jendela kamar.
Daun-daun kering yang jatuh itu gugur bersama hembusan
angin, seperti hatinya yang ikut gugur bersama hembusan nafas terakhir Zayn.
Zayn. Masa lalunya. Seseorang yang membuatnya merasa lengkap
ketika bernafas. Seseorang yang ia ‘kira’ adalah separuh jiwanya. Seseorang
yang membuatnya seperti dipukul beban saat ditinggal pergi. Seseorang yang
membuat ia menutup pintu hatinya.
Dan disaat Lily hampir saja memendam semua tentang Zayn
dalam hatinya, lelaki bernama Niall itu menyatakkan cinta padanya. Bukan tidak
suka. Bukan karena ia masih menyukai Zayn. Tapi karena ia tak pernah
diperlakukan seperti itu. Ia takut, ia takut memulai hal yang menyenangkan. Dia
merasa bahagia itu bukan tipenya.
Karena setiap dia bahagia, pasti selalu ada sesuatu yang
salah disana.
Tapi.. dia tak bisa membohongi perasaannya. Lelaki dengan
rambut blonde dan tingkah-tingkah menyebalkan. Lelaki yang selalu menemaninya
menonton senja. Lelaki itu mengobati
luka hatinya, dan berhasil membuat pintu hatinya sedikit terbuka.
Ya, musim…. Gugur. Hatinya juga.
Lily mengambil kertas lusuh didalam saku bajunya. Surat dari
Zayn.
Dear Lily, bunga musim
panasku…
Aku tak tahu apa
tujuanku menulis ini. Mungkin ini terlihat seperti drama-drama, tapi… mungkin
aku tidak bisa mengungkapkan kalimat-kalimat sepuitis ini secara langsung
padamu. Bukan tidak mau Ly, aku tidak bisa. Kau tau, bukan? Penyakit hepatitis ini membuatku
terlihat sangat lemah. Bodoh. Pengecut. Bahkan untuk sekedar mengungkapkan
perasaanku pada gadis yang kusukai saja tidak bisa.
Ly, aku sakit. Disini,
di dadaku rasanya sakit sekali. Aku lelah seperti ini. Tapi aku menahannya.
Karena aku punya hal yang dapat membuatku bertahan. Bukan obat-obatan, tapi
kau.
Aku sangat merasa
tidak adil saat aku hidup ditemani penyakit yang menggerogoti tubuhku. Tapi aku
sangat berterimakasih pada Tuhan karena mempertemukan kita.
Aku menyayangimu, Ly.
Aku mencintaimu, Lily Aron.
Aku suka ketika kita
bertukar pikiran, mengomentari berita-berita televisi, atau bercerita sedikit
tentang masa kecil masing-masing, dan sekedar mengisi memoriku yang hampa.
Terimakasih, terimakasih. Karena telah memberikkan secuil kenangan yang dapat
kubanggakan.
Carilah lelaki yang
dapat memberikkanmu hal yang lebih baik dari apa yang ku berikkan padamu.
Berbahagialah Ly, demi
aku.
Your friend,
Zayn
***
Vinnie menatap Lily yang menghabiskan harinya hanya dengan
memandang jendela.
“Berhenti memasang tampang datar seperti itu, Lily Aron.”
“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Vinnie Aron.”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Apa yang harus kulakukan, Vin?”
“Bisakah kau berhenti bertanya pada orang lain?”
“Apa?”
“Mungkin ini terlalu puitis. Tapi ada beberapa hal yang tak
perlu kau tanyakkan.”
“Lalu?”
“Hatimu pasti tau kemana harus berlabuh.”
***
Niall menatap senja di hadapannya,
kembali dengan hembusan nafasnya.
Sama seperti ia menunggu gadis itu
dulu.
Dan kali ini dia juga harus
menunggu.
Lagi.
Bukannya dia tidak mau menghampiri
Lily lebih dulu ke rumah sepupu gadis itu. Bahkan Mrs. Aron menawarkan
alamatnya, tapi dia menolak. Lelaki berambut blonde ini memilih menunggu Lily
datang. Membiarkan gadis itu menata perasaannya dulu. Agar gadis itu bebas
memilih apa yang ia mau.
Bukannya tidak mau memperjuangkan
cintanya, hanya dia tidak ingin melihat gadis itu tertekan. Dan dialah
penyebabnya. Membuat gadis itu hilang dari rumahnya berhari-hari. Dia merasa,
mencintai Lily Aron hanya sebuah kesalahan.
Jika memang mencintai Lily itu salah, maka Niall tidak akan pernah
ingin menjadi benar.
Tapi, sungguh..
Niall tidak pernah menyesali waktu
dimana ia menghampiri gadis itu untuk pertama kali. Membiarkan pisau keberanian
itu memotong jarak.
Dan…
Niall juga tidak pernah menyesali
waktu dimana ia menyatakkan perasaannya pada gadis itu. Membiarkan coretan
abstrak dan kasat mata bernama ‘cinta’ itu tak dapat hapus lagi.
Dia benar-benar bersyukur dengan
semua yang dia pernah lakukan untuk gadis itu.
Dusta, jika dia bilang ini tidak
menyakitkan.
Dia mencintai seseorang dan sudah
menyatakkannya, tapi dia tidak bisa memperjuangkan rasanya.
Seperti ikut kompetisi dan sudah
mengikuti persyaratannya, tapi dia tidak bisa apapun sampai menunggu hasil
keputusan juri.
Memendamnya dalam diam.
Menunggunya. Seakan-akan tidak ada usaha lagi untuk mendapatkannya. Padahal, memang itu ketentuannya.
Cinta itu tentang
meng-komitmen-kan dua puzzle yang
berbeda. Niall sudah berusaha menawarkan diri agar puzzle miliknya dan puzzle Lily
disatukan, dan sekarang semuanya tergantung Lily. Bersedia menyatukkan puzzle-nya juga atau tidak.
Maka cintanya pada gadis itu
betul-betul bisa mengalahkan egonya. Tulus.
“Bodoh.”
Niall mendongakkan kepalanya, dan mendapati
Lily dihadapannya. “Lily?”
“Menyatakkan cinta padaku, lalu
kutinggal pergi. Hanya melihat senja yang dapat kau lakukan setelah itu?”
Lily mengambil duduk di bagian
kursi taman yang masih kosong. Niall menatapnya dengan alisnya yang menyambung
karena bingung. Tapi terlihat sangat
senang. Tentu saja, matamu seperti blur berhari-hari dan kini titik fokus itu
kembali duduk di sampingmu.
“Aku… Bukan begitu, Ly.”
“Aku dengar ibuku menawarkan
alamat rumah sepupuku, dan kau malah menolaknya. Benar?”
Lily sama sekali tidak menoleh.
Dia memfokuskan matanya pada senja.
“Aku hanya ingin memberimu waktu
untuk menata perasaan. Maaf.”
“Maaf? Untuk apa?”
“Karena membuatmu mengingat Zayn,”
Niall juga ikut memalingkan pandangannya pada senja.
“Aku merindukannya. Aku sangat
merindukan Zayn, Niall.”
Niall memenjamkan matanya.
Menikmati angin. Memperkecil sakit didadanya. “Aku tahu.”
“Aku ragu tentang perasaanmu
padaku, Niall. Berhari-hari tak melihatku kau hanya diam seperti itu.”
“Lily, aku.. aku hanya tidak ingin
membuatmu pergi lagi jika aku memperlihatkan perasaanku.”
“Perlihatkan sekarang.”
“Apa?”
“Perasaanmu padaku.”
“Ly…”
“Perlihatkan. Dan aku takkan
pergi.”
Niall menatap gadis itu. Matanya
masih tetap setia pada senja, dan rambutnya yang terurai rapi kini terbawa
angin. Ekspresinya… entah. Seperti biasa. Datar.
Niall menahan nafasnya.
“Aku tidak memaksamu untuk yakin
pada perasaanku. Aku tidak berniat untuk membuatmu mengingat Zayn. Aku hanya ingin menyatakkan
perasaanku waktu itu, dan aku hanya berharap kau bisa menerimaku. Tapi aku juga
menerima kalau kau tidak bisa membalas perasaanku. Aku tidak suka melihatmu
tertekan. Sungguh.” Niall memejamkan matanya, “Aku minta maaf, tapi aku
mencintaimu, Lily Aron.”
Pria berbibir tipis itu membuka
matanya, “Aku tahu bahagia diakhir itu bukan tipemu. Aku tahu kau takut
mencobanya lagi. Jadi, bukannya aku tak memperjuangkanmu, aku hanya tak ingin
membuatmu tertekan. Ini bebas. Kau hanya perlu menjawab sesukamu, Ly. Lily
Aron, maukah kau menjadi senjaku?”
Lily menoleh ke arah Niall yang
menatapnya. “Tidak.”
Niall memejamkan matanya lagi. Dan
yang kali ini lebih lama. Hatinya gugur.
Dia mendengarnya. Jawaban yang
paling punya kemungkinan paling besar.
Satu pertanyaan dalam pikirannya:
‘Apa alasan dari kata ‘tidak’ itu?’
Jika alasannya adalah Niall tidak
cukup pantas untuk gadis itu.. Dia sadar diri. Karena itu berarti ada
kemungkinan untuk melihat gadis itu bahagia walaupun bukan dengannya.
Jika alasannya adalah gadis itu
mencintai Zayn.. Dia juga akan mengerti. Karena itu juga berarti ada
kemungkinan untuk melihat gadis itu jatuh cinta lagi pada pria walaupun bukan
dengannya.
Tapi jika alasannya adalah gadis
itu ragu akan perasaannya.. Dia tidak akan sadar diri atau mengerti. Karena,
dia akan sakit.
Niall tidak bisa berbohong; ini benar-benar menyakitkan ketika
seseorang meragukkan cintamu.
***
“Tidak.”
Lily melihat lelaki itu memejamkan
matanya.
“Aku tidak mau menjadi senjamu.”
Lelaki itu membuka matanya, lalu
tersenyum. “Tak masalah.”
“Tapi aku mau jadi nafasmu.”
“Apa?”
“Senja tak muncul setiap saat,
sedangkan nafas selalu ada selama hidupmu. Sampai mati.”
“Ly?”
“Mungkin bahagia di akhir bukan
tipeku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak punya hak untuk menghalangi
kebahagianmu. Aku juga mencintaimu, Niall Horan.”
Tubuh Niall beku. Gadis
dihadapannya memeluknya. Dia rasa musim gugur sudah menjadi musim salju
sekarang. Terlalu dingin, untuk tidak berpelukkan dihadapan senja.
Senja, terimakasih, aku sudah
mendapatkan nafasku. –Niall Horan—
***
Lily menempelkan ponsel di telinganya sambil tersenyum mengingat
kalimat yang keluar dari mulut seseorang di sebrang sana.
“Bagaimana London?”
“Lebih baik dari Round Maple, tentu saja.”
Suara tawa renyah Vinnie terdengar, “Senang mendengarnya. Apa yang membuatmu berpikir begitu, Lily Aron?”
“Aku lebih bisa menghargai kotaku sendiri setelah
mengunjungi kota orang lain.”
“Liburan musim panas
tahun ini aku ke London.”
“Dan aku yakin demi apapun kau akan merindukkan Round Maple.”
“Itu script-ku,
Ly!”
Lily tertawa kecil –dan itu pertama kalinya Vinnie
mendengarnya tertawa semenjak Zayn meninggal, “Vinnie.”
“Ya?”
“Hatiku berlabuh di London.”
***
FIN
So that’s why, I must go to England.
Seperti Lily, aku ingin lebih menghargai tempat tinggalku,
Indonesia.