Senin, 27 Januari 2014

Pintu

Awalnya aku hanya memandang sebuah pintu. Bukan pintu yang bagus, unik, bersih, apalagi mahal. Bukan. Tapi sebuah pintu yang membuat semua orang yang melihatnya (atau hanya aku), akan merasa ada ruangan nyaman dibaliknya. Akupun melihat dari jauh, dan memberitahu beberapa temanku tentang pintu itu.
Sampai suatu saat, entah bagaimana caranya; aku ada di depan pintu itu. Seraya memerhatikkan dan membayangkan betapa nyamannya ruangan di baliknya. Aku mulai penasaran, ketika  mengingat ruangan itu rasanya sangat menggebu-gebu.
Dan kuputuskan untuk menunggu dan mengetuk pelan kayu kotak dihadapanku itu, sambil berkata: “Ada orang di dalam?”
“Ada.” sahut seseorang dari dalam.
 Aku ingin membukanya, tapi, sepertinya dikunci. Akupun hanya menunggu dan mengetuk beberapa kali (jumlah yang dapat di hitung), tapi kali ini ketukanku lebih keras. Sampai akhirnya aku merasa lelah menunggunya terbuka, dan berfikir untuk meninggalkan pintu itu.
Aku hanya merasa; sepertinya ruangan nyaman itu sedang menungggu seseorang mengetuk pintunya, tapi seseorang itu bukan aku.
Dengan satu ketukan keras dan nada kesal aku berkata, “Terserah. Aku akan pergi.” Aku membalik tubuhku dan melangkah pergi.
Tapi ada suara gesekan kusen dan kayu; pintu terbuka, “Aku tidak menunggu orang lain yang kau fikirkan.”
Aku menoleh, dan kembali berdiri di depan pintu itu. Tersenyum simpul melihat celah; kini ruangan itu terlihat. Aku semakin membayangkan ruangan itu.
Tapi seiringnya waktu..
Celah itu seperti tak berarti apapun, hanya sebuh celah kecil (yang memberikkan harapan besar).
Dan disinilah aku, masih diam, bingung, sibuk memikirkan; pergi atau tetap disini.
Kadang kau terlihat seperti ruangan yang nyaman, tapi egois. Disaat aku akan pergi, kau menjelaskan apa yang salah; seakan-akan kau tidak ingin aku pergi. Tapi disaat aku tetap disini, kau sama sekali tidak melakukan apapun; seakan-akan kau tidak ingin aku masuk ke dalamnya.
Benar. Aku tidak berprasangka buruk, tapi sikapmu memaksaku untuk seperti itu.
Tertanda,
Penganggum pintu

Kamis, 02 Januari 2014

Surat Dari Semesta


Ritme hujan terdengar oleh telinganya.
Petrichor pun di cium hidungnya.
Butiran air jatuh angkuh diatas kulitnya.
Kabut itu juga menghalangi matanya.
Dan eluhan-eluhan mulai dikecapkan lidahnya.

Sudah dapat mendengar ritme hujan.
Mencium petrichor.
Merasakan air.
Melihat kabut.
Tapi kenapa malah eluhan yang terucap?

Sesungguhnya, si tuli ingin sekali mendengar, walau itu hanya ritme hujan.
Si buta juga ingin sekali melihat, walau itu hanya kabut.
Si bisu juga ingin sekali berbicara, walau itu hanya mengucap syukur.
Dan yang kekeringan pun ingin sekali hujan, walau itu hanya gerimis.

Yang punya seperti tidak menginginkan.
Sedangkan yang tidak punya jelas-jelas sangat menginginkannya.
Padahal, semua tahu kalau Tuhan tidak pernah tidur.
Dan Semesta selalu menjadi saksi bisu yang nyata.

Tidak takutkah yang punya, jika semua yang dipunya-nya diambil Tuhan lalu diberikan pada yang tidak punya?
Aku menunggu jawabanmu..

Saksi bisumu,
Semesta.