Awalnya aku hanya memandang sebuah pintu. Bukan pintu yang
bagus, unik, bersih, apalagi mahal. Bukan. Tapi sebuah pintu yang membuat semua
orang yang melihatnya (atau hanya aku), akan merasa ada ruangan nyaman
dibaliknya. Akupun melihat dari jauh, dan memberitahu beberapa temanku tentang
pintu itu.
Sampai suatu saat, entah bagaimana caranya; aku ada di depan
pintu itu. Seraya memerhatikkan dan membayangkan betapa nyamannya ruangan di
baliknya. Aku mulai penasaran, ketika
mengingat ruangan itu rasanya sangat menggebu-gebu.
Dan kuputuskan untuk menunggu dan mengetuk pelan kayu kotak
dihadapanku itu, sambil berkata: “Ada orang di dalam?”
“Ada.” sahut seseorang dari dalam.
Aku ingin membukanya,
tapi, sepertinya dikunci. Akupun hanya menunggu dan mengetuk beberapa kali
(jumlah yang dapat di hitung), tapi kali ini ketukanku lebih keras. Sampai
akhirnya aku merasa lelah menunggunya terbuka, dan berfikir untuk meninggalkan
pintu itu.
Aku hanya merasa; sepertinya ruangan nyaman itu sedang
menungggu seseorang mengetuk pintunya, tapi seseorang itu bukan aku.
Dengan satu ketukan keras dan nada kesal aku berkata,
“Terserah. Aku akan pergi.” Aku membalik tubuhku dan melangkah pergi.
Tapi ada suara gesekan kusen dan kayu; pintu terbuka, “Aku
tidak menunggu orang lain yang kau fikirkan.”
Aku menoleh, dan kembali berdiri di depan pintu itu.
Tersenyum simpul melihat celah; kini ruangan itu terlihat. Aku semakin
membayangkan ruangan itu.
Tapi seiringnya waktu..
Celah itu seperti tak berarti apapun, hanya sebuh celah
kecil (yang memberikkan harapan besar).
Dan disinilah aku,
masih diam, bingung, sibuk memikirkan; pergi atau tetap disini.
Kadang kau terlihat seperti ruangan yang nyaman, tapi egois.
Disaat aku akan pergi, kau menjelaskan apa yang salah; seakan-akan kau tidak
ingin aku pergi. Tapi disaat aku tetap disini, kau sama sekali tidak melakukan
apapun; seakan-akan kau tidak ingin aku masuk ke dalamnya.
Benar. Aku tidak berprasangka buruk, tapi sikapmu memaksaku
untuk seperti itu.
Tertanda,
Penganggum pintu