Sabtu, 22 Agustus 2015

This is my life, my choice

Kalau hidup adalah sebuah perjalan. Maka saya tipikal yang selalu berjalan lurus, walau banyak persimpangan. Saya tetap memilih untuk lurus entah apapun yang terjadi. Karena saya tidak berani mengambil resiko disetiap belokannya, apalagi untuk tersesat.
Lalu suatu saat di salah satu persimpangan, saya bertemu dengannya. Kami –saya dan dia— meneruskan perjalanan bersama. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa perjalanan ini terasa lebih menyenangkan, kami saling bercerita dan mulai mengenal satu sama lain selama perjalanan. Sampai suatu hari, dia meminta saya untuk belok ke arah lain di persimpangan yang kami lewati, saya tegas menolak, saya bahkan mempersilahkan dia belok sendiri dan membiarkan saya tetap berjalan lurus. Tetapi dia menggeleng, dia lebih memilih bersama saya selama perjalanan dibandingkan belok ke arah lain. Saya tidak bisa untuk tidak tersenyum padanya. Saya membayangkan untuk berjalan melewati semua perjalanan hidup saya bersama dia.
Sampai pada suatu waktu selanjutnya di persimpangan dia meminta saya lagi untuk berbelok, saya jelas menolak, dan saya lihat garis kecewa itu di wajahnya. Saya juga enggan membiarkan dia belok sendiri, bagaimana saya melanjutkan perjalanan saya tanpa dia? Maka dia lah satu-satunya alasan mengapa saya belok di persimpangan kali ini. Walaupun jalan di belokan ini terasa penuh kerikil, dan saya mulai merasa tidak nyaman. Tetapi menurut saya ini akan baik-baik saja, selama saya bersama dia. Karena belokan pertama kami itu, kami jadi lebih sering belok di persimpangan berikutnya. Jalan yang saya lewati semakin buruk penuh bebatuan, ini semakin sulit untuk saya berjalan. Terus seperti itu, sampai saya tidak tahu lagi kami sedang dimana, tetapi jalannya (sangat) buruk.
Lalu saya mulai berpikir dimana jalan lurus nyaman yang dulu selalu saya lewati?
Kenapa saya sama sekali tidak melihat satupun jalan dengan kondisi baik disetiap persimpangan?
Saya bilang kami tersesat, tapi dia meyakinkan saya untuk percaya, dia berjanji akan membawa saya ke jalan yang kembali baik seperti sebelumnya.
Lalu saya bisa apa selain mempercayai kata-katanya? Apa saya punya pilihan lain?
Apa saya bisa balik ke arah sebelumnya lalu melanjutkan semua ini tanpanya?
Jadi, saya melanjutkan ketersesatannya kami. Entah dia mau bawa saya kemana. Sampai akhirnya saya muak dengan ketersesatan kami, dia membawa saya ke jalan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Sampai saya rasa saya tidak sanggup lagi untuk melewatinya. Dan pada waktu itu lah saya mengambil keputusan untuk berhenti, saya membebaskan dia untuk berbelok lagi entah kemana, tapi tanpa saya. Lalu pada saat itu dia marah kepada saya, merasa saya mengecewakan dia, karena dia pikir kami akan menghabiskan seluruh perjalanan ini bersama. Dia pergi meninggalkan saya tanpa menoleh sedikit pun.
Entah apa yang saya pikirkan waktu itu:
‘Bagaimana kalau dia menemukkan seseorang baru untuk menemaninya nanti?’
‘Bisakah saya memperbaiki semua ini tanpa dia?’
‘Apakah dia akan kembali kesini untuk saya?’
Sampai saya menunduk dan meliat jalan rusak dibawah kaki saya. Tidak, ini bukan jalan yang harusnya saya lalui. Saya tidak perlu memikirkan dia, sebelum bertemu dia saya bisa menjalani hidup saya (bahkan lebih baik), sebelum lalu dia merusak jalannya. Saya tidak butuh bantuannya, saya yang meminta dia meninggalkan saya, dan akan sangat baik ketika orang yang membuat saya tersesat itu akhirnya pergi.
Seharusnya, saya tidak perlu mengubah pilihan hidup saya untuk orang lain. Kebahagiaan saya tidak bergantung pada dia, tapi pada diri saya sendiri, karena ini adalah jalan hidup saya, pilihan saya. Mungkin ini sudah terlalu jauh untuk berbalik arah, berjalan lurus dan mencari jalan yang lebih baik… Tetapi saya mempercayai diri saya dibandingkan siapapun, apa yang orang-orang di pinggir jalan ucapkan tentang saya itu, sama sekali bukan urusan saya. Karena apa yang mereka ucapkan itu adalah urusan mereka, tenaga mereka, pikiran mereka, mulut mereka. Dan begitulah juga saya, apa pun yang saya lakukan itu adalah urusan saya, tenaga saya, pikiran saya, langkah kaki saya. 

Tertanda, 

Yang berbalik arah