Minggu, 16 Februari 2014

Candle


A good teacher is like a candle; it consumes itself to light the way for others.

Problem

Ketika kita mempunyai masalah…

Sebagian orang akan mengambil kesimpulan, tanpa tahu keseluruhannya.
Sebagian orang lainnya hanya akan diam, karena mereka tak berminat untuk tahu.
Sebagian orang lagi akan menghakimi, tanpa tahu sama sekali.
Dan sisanya lagi, akan berusaha mencari tahu keseluruhannya. Entah untuk apa.

Kita pun lebih baik diam. Karena..

 “Masalah bukan makalah yang harus dipresentasikan.” –(Alm. @toiletcafe)

Biarkan saja nama kita buruk dia luar, karena sesungguhnya pun cukup kita yang tahu hal-hal baik di dalamnya.
Dan tidak semua dari mereka yang ingin tahu itu peduli, kebanyakkan dari mereka hanya penasaran.

Sabtu, 15 Februari 2014

Where is location of quietness?

Ada yang frustasi karena sebuah games.
Apa akal itu sebanding dengan sesuatu yang malah diciptakan dari akal itu sendiri?
Ada yang hidupnya pasif karena internet.
Apa sosialisasi itu sebanding dengan sebuah jaringan yang hanya dipenuhi teks tanpa intonasi?
Ada yang membuang bayinya di tong sampah.
Apa sampah itu sebanding dengan sebuah nyawa?
Ada yang korupsi sampai lupa berapa uang yang dia punya.
Apa hak orang lain itu sebanding dengan kepuasan diri sendiri?
Ada yang rumahnya masih terbuat dari kardus.
Apa kardus itu sebanding dengan batu bata kokoh  yang dilapisi semen?
Ada yang berambisi untuk sekedar jabatan.
Apa kemauan tinggi itu sebanding dengan sekedar kekuasaan?
Ada yang berlomba-lomba mengumpulkan harta.
Apa kemampuan itu hanya sebanding dengan benda yang memliki nominal?
Ada yang sibuk mengurusi hidup idola nya.
Apa waktu untuk beraktivitas itu sebanding untuk mengurusi aktivitas orang lain?
Kita semua tahu bahwa semua jawaban yang kita punya juga masih mempunyai sebuah pertanyaan lagi yang harus dijawab.
Kenapa harus terlalu rumit?
Padahal jelas-jelas ini (hanya) dunia untuk sementara, kan?
Kenapa semuanya seperti terlalu sibuk dan terlihat seperti sudah lupa fakta itu?
Benarkah mereka telah tenggelam dalam kesengsaraan dan kebahagiaan semu?
Lalu dimanakah letak pelampung ketenangan dari segala macam persoalan di dunia fana ini?
Sebagian (sangat) kecil dari manusia berusaha mencari pelampung itu.
Dan tak pernah ada satu pun yang menyadari letaknya.
Padahal sangat dekat.
Padahal sudah menjadi bagian dari kebiasaan.
Padahal sangat sederhana.
Karena sesungguhnya,
letak ketenangan itu hanya sejauh kening dan sajadah.


Ketika tidak ada bahu untuk bersandar,
selalu ada lantai untuk bersujud.

Hormat saya,
Salah satu penghuni dunia fana

Minggu, 09 Februari 2014

Rain

I like the sound of your footsteps and the smell of petrichor.
Nice to meet you, Rain.


Sincerely,
 Newbie-pluviophile

Perfect

Lidah-lidah itu bergelut menghasilkan nada remeh.
Mata-mata itu juga akan menyipit tak suka.
Hidung-hidung itu selalu menciptakan dengusan tak peduli.
Saraf pada leher-leher itu pun tak pernah tau arti menunduk.
Dan, hati-hati itu hanya mengenal satu kata; sempurna.
Sempurna.
Itu namaku.
Mereka mengerjarku.
Dan aku malah menjauhi mereka.
Kenapa?
Itu karena mereka tidak sabar. Tidak mau menunggu.
Aku lebih suka dan akan luluh jika ditunggu, dibandingkan dikejar.
Mereka yang setia menunggu memperlihatkanku dua hal; setia dan tulus.
Dan, jika mereka bilang; sebenarnya mereka tidak mengejarku. Melainkan beginilah cara mereka menungguku.
Aku tahu mereka berdusta.
Karena sesungguhnya, kerendahan hati lah yang merupakan ruang tunggu bagi kesempurnaan.

Yang kamu kejar,
Sempurna

Little conversation

Dimana?
Aku mencintainya diantara jarak.
Bagaimana?
Karenanya, diamku jadi terasa lebih bermakna.
Lalu?
Aku mengirim hatiku padanya, tapi dia hanya membaca dan tidak menjawab.
Tidak ingin pergi?
Setia itu hanya mitos, dan aku akan megubahnya, jadi nyata.
Atau mencoba melupakannya?
Aku mencoba untuk melupakannya, tapi itu sama sulitnya seperti mengingat orang yang tak pernah ku kenal.
Baiklah. Lalu apa masih ingin berharap?
Aku tidak berharap, aku lebih suka berdo’a. Setiap malam.
Berdo’a agar dia mencintaimu, begitu?
Bukan begitu. Tapi begini..
“Tuhan, lepaskan dia dari semua yang menghilangkan senyum indahnya. Biarkan candanya berserakan di antara sepinya malam ini.”
Jadi, kau takkan pernah berhenti mencintainya?
Aku tidak akan pernah berhenti mencintainya, aku hanya berhenti untuk menunjukkan itu.
Dan tak pernah menangis?
Sekali. Dan sepertinya terakhir.
Kenapa?
Karena; yang paling sering tertawa, memang paling terlihat bodoh ketika akhirnya dia menangis.
Merasa bodoh?
Aku hanya belum pintar.  

Sampai-sampai… 
Cintaku tak terbalas. Cintaku tak diberikkan waktu untuk berbunga.

Tertanda,
Aku